Argh
Matanya kembali terpejam menahan rasa sakit di bagian punggungnya. Seorang pria berdiri di belakangnya tengah tertawa puas.
Ctak
Sekali lagi, pria itu mencambuknya tanpa rasa kasihan. Tidak bisa dihitung berapa kali pria itu mencambuknya dari kemarin. Jean pun hanya membisu dan berteriak dalam hati.
Beberapa menit berlalu, pria itu membuang cambuknya dan keluar dari ruangan. Meninggalkan Jean yang terkulai lemas di atas lantai yang dingin.
Air matanya tak berhenti mengalir. Lihat lah kondisinya sangat kacau. Mata bengkak dengan air mata yang mengalir dan membekas di kedua pipinya, pelipis berdarah dan bewarna biru, rambutnya berantakan, mulutnya pucat di dalam kain yang membekapnya. Kedua kaki dan tangannya juga banyak luka memar, belum lagi pergelangan tangan dan kaki yang membiru akibat diikat menjadi satu.
Waktu itu saat ia tengah berjalan menuju toilet, dia dimintai tolong oleh seseorang. Sebenarnya, Jean ingin cepat sampai di toilet. Namun, melihat seseorang itu tengah membutuhkan bantuannya, jadi lah dia membantu.
Ketika membuka pintu gudang belakang sekolah, Jean langsung berjalan dan mengambil satu kursi yang masih layak pakai. Belum sempat ia mengambil, mulutnya dibekap dan ditarik mundur secara paksa.
***
"Bagaimana?" Bian menggeleng lesu. Gama mengepalkan kedua tangannya menahan amarah.
"Tapi, sepertinya pria itu ada di sini." Smith menoleh menatap Bian kaget. "Bagaimana bisa?!"
Bian mengangguk, "Setelah saya amati, ternyata dia ada di sini. Namun, tujuan pria itu ada di sini masih belum saya temukan, Tuan."
"Baiklah, kembali." Bian mengangguk dan pergi dari ruangan. Smith memijat pangkal keningnya, frustasi. Kecurigaannya semakin besar terhadap pria itu.
"Mr. Louis?" tebak Gama. Smith mengangguk.
***
Gama melirik sinis pada sosok yang baru saja tiba di ruangan kerjanya tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Belum lagi sosok itu dengan enaknya langsung duduk di sofa mahalnya di dekat pintu ruangan.
"Sumpah gue nggak nyangka." Gama menaikkan satu alisnya malas.
"Ck, lo tuh. Heboh kek."
Tidak ada jawaban.
Bara mendengus, "Woi." Gama hanya melirik sekilas lalu lanjut menghadap komputer.
"Nih yah, asal lo tahu. Adik lo yang baru ketemu itu ternyata sahabat Adik gue." Gama menatap tajam Bara. Tahu begitu, sudah dari dulu Adiknya ditemukan.
"Ya gue juga baru tahu, Kang," dumel Bara.
"Pas liat foto Adik lo di instagram Bapak Gama, gue neliti aja gitu. Kaya pernah liat. Terus gue inget, Adik gue pernah post foto sama sahabatnya. Eh ternyata, sahabatnya itu ..." lanjut Bara dengan menggantungkan suaranya.
"Adik gue," jawab Gama cuek. Toh sekarang, itu tidak lah penting.
"Tapi soal kasus Adik lo yang diculik, nggak hoax?" Gama menggeleng, menandakan memang benar jika Jean diculik.
"Sabar," ucap Bara sambil mengelus pelan punggung Gama.
Gama menatap jijik. Sejak kapan lelaki itu berada di sebelahnya? Dan juga ... mengelus punggungnya? Sungguh menjijikkan. Segera ia tepis tangan Bara membuat sang empu menggerutu pelan.
"Dah lah, gue balik aja. Bye!"
Selepas kepergian Bara, Gama memijat pangkal keningnya. Memikirkan bagaimana kondisi Adiknya yang entah bagaimana sekarang.
***
Matanya terbuka total saat dingin menyergap di tubuhnya. Dilihatnya pria itu tertawa kesenangan menikmati penderitaannya.
"Saya kasihan denganmu yang belum mandi dari kemarin." Sekuat tenaga dia menahan nyeri di kepala saat pria itu kembali menjambak rambutnya.
"Bagaimana?" Jean tidak mengerti. "Apa kau mau mandi lagi?"
Belum sempat dia menjawab, kepalanya sudah lebih dulu dimasukkan ke dalam bak yang berisikan air dingin. Jean menarik nafas dalam-dalam ketika kepalanya dikeluarkan dari bak itu.
Tidak hanya itu, kini cambuk berbahan kulit itu menubruk punggungnya. Jean berteriak kesakitan dalam hati. Sudah kesekian kalinya ia dicambuk.
Matanya menatap pria itu rapuh. Sakit di kepalanya semakin menjadi kala pria itu menjambak kuat rambutnya.
Plak
Kedua tangan dan kakinya sudah dilepas. Tangannya menyentuh pipinya yang memanas.
"Sa-sa ... kit." Kuku-kuku tajam itu semakin menusuk kedua pipinya. Pria itu tertawa.
Jean menggelengkan kepalanya menghindari pria itu yang ingin menciumnya.
Plak
"Diam," bentak pria itu.
Jean menangis saat pria itu berhasil membuka kancing seragamnya, memperlihatkan tank top hitam yang ia pakai.
Dukh
Dukh
Dukh
Pria itu berdecak saat pintu ruangan didobrak. Matanya menatap tajam si pelaku.
"Anda sudah kelewat batas!"
Pria itu meludah. Tangannya mencengkram kerah baju pemuda itu. "Jangan membentak, sialan!"
"Lakukan! Kalau tidak, kau tahu apa yang akan 'ku lakukan," bentaknya sambil mendorongnya.
Pintu tertutup. Matanya menatap sedih pada sosok yang duduk di bawah dengan menundukkan kepalanya.
Jean mendengar derap langkah mendekat, kepalanya mendongak. Matanya sedikit buram untuk melihat siapa gerangan.
"Ma-maaf."
Deg
***
TBCSemakin ... (Isi sendiri👉🏻👉🏻)
Wkwk feelnya dapet nggak sih? Semoga aja dapet yah.
Ok guys, tinggal beberapa part lagi menuju ending. Fyi, buat yang nyari adegan prolog itu dimana, jadi sedikit lagi bakalan nyampe. Sorry yah buat kalian yang kepo, "Mana, sih, yang kaya prolog itu?"
Oh ya, aku makasih juga buat kalian yang udah baca sampe sini dan yang selalu support aku. So, kalian mau lanjut apa stop nih?
KAMU SEDANG MEMBACA
JEAN
Teen FictionHampir seisi dunia membencimu, tapi jangan melupakan orang-orang yang sangat menyayangimu. Tapi kenapa dua diantara orang itu pergi dan tak pernah kembali? Lama sudah ia bertahan. Suatu hari, dengan tiba-tiba hidupnya berubah 180° Bagaimana bisa te...