[03]

419 80 40
                                    

Ternyata cerita ini ada yang baca yah? Huaa senang betul 😭

Dukungan se-sederhana ini bisa ngebuat aku jadi semangat banget nulis, makasih yang sudah dukung 💓

- what if we rewrite the star?


Arjuna membuka mata ketika merasakan sinar matahari yang hangat menerpa wajahnya. Ia meregangkan badan, mencoba merasakan kenikmatan terbaik setelah bangun tidur. Dilirknya jam di nakas, ah sudah jam 9 pagi. Sudah memasuki minggu kedua liburan akhir semester, dan hari-hari Juna hanya dipenuhi kegiatan tidak penting.

Ia bangun, mandi, makan, menyaksikan televisi, bermain hp, dan mengulang kegiatan yang sama sampai kembali tertidur. Bener bener membosankan.

Seperti saat ini. Setelah selesai mandi dan membersihkan diri, Juna berjalan menuruni tangga untuk ke dapur. Ia membuka tudung saji, masih ada sebungkus nasi kuning untuknya. Tanpa basa-basi, ia memakan nasi kuning dengan lauk ayam tersebut. Juna lapar.

"Baru bangun?"

Juna mengangkat pandangan, menatap sang ayah yang terlihat segar dengan kaos hitam polos dan celana panjang berwarna coklat. Juna akui, ayahnya masih sangat tampan bahkan di usia yang telah tua. Menginjak angka 45, dan ayahnya tidak berubah.

"Uhm, baru saja. Ayah sudah sarapan?"

"Sudah tadi bersama bunda. Tidak ada kegiatan hari ini?"

Juna menggeleng. Jangankan hari ini, sejak dua minggu yang lalu juga ia tidak memiliki kegiatan apapun selain menghabiskan porsi makanan di rumah. Lagian, mau ngapain juga? Arga sedang pulang ke kampung halamannya, di Bandung, dan Juna terlalu malas jika harus berjalan-jalan sendirian.

"Mau ikut ayah?"

Juna mengangkat pandangan, "kemana?"

"Makan siang dengan rekan bisnis, hanya makan siang santai. Mau?"

Ia menggeleng sebagai balasan. Walaupun hanya makan siang santai, Juna tetap enggan ikut campur kegiatan tersebut. Ayahnya memiliki bisnis lokal yang cukup terkenal, dan beberapa bulan belakangan ini bisnis ayahnya sedang berkembang pesat.

Juna sendiri tidak seberapa tertarik dengan dunias bisnis. Ia lebih menyukai sastra dan segala macam yang berbau seni. Ia jatuh cinta pada bagaimana seseorang bisa menuangkan keluh kesah serta isi hatinya ke dalam sebuah tulisan indah. Juna mencintai hal seperti itu.

Rencananya nanti, kalau sudah kuliah, Juna akan memilih jurusan sastra Indonesia.

"Yaudah, lanjutin aja makannya. Ayah ada urusan keluar, nanti kalau bunda cariin, bilang aja ayah ada urusan."

Juna mengerutkan keningnya, ini si ayah belum ijin ke bunda apa gimana? Kenapa harus bilang ke Juna segala? Seperti mengerti arti tatapan Juna, sang ayah menjawab.

"Mau bilang, tapi bunda lagi tidur. Kayanya kecapean, badannya agak panas. Makanya ini ayah mau nyariin obat sekalian, jagain bunda ya. Dah."

Tanpa menunggu jawaban, ayahnya sudah menghilang dari pandangan. Juna sedikit terkejut mengetahui sang bunda sedang sakit, jadi ia dengan cepat menyelesaikan acara makannya. Setelah semua beres, ia berjalan ke kamar utama. Kamar orang tuanya yang berada di lantai dasar. Sebenarnya, kamar di lantai dua jauh lebih luas dibanding kamar disini. Tapi, karena sang ayah dan Juna menyanyangi bunda, mereka akhirnya meletakkan kamar utama di lantai satu.

Supaya Wendy tidak harus capek-capek naik ke lantai dua.

Tok tok

Pintu kayu bercat itu terbuka, menampilkan sebuah kepala yang menyembul dari balik sana. Juna menatap sang bunda yang tidur dengan tenang, lalu mulai berjalan mendekat tanpa menimbulkan suara apapun. Ia berlutut di samping kasur, memperhatikan wajah cantik di hadapannya dengan lekat. Malaikat tak bersayap yang telah membesarkannya bahkan setelah 18 tahun berlalu.

Rewrite The Star • HenxiaoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang