Wattpad Original
Ada 14 bab gratis lagi

5. The One with The First Compromise

63.7K 6.6K 576
                                    

Hiu menungguku di depan pintu.

Rambutnya disanggul, brewoknya dirapiin meski nggak sampe bersih. Cuma bajunya ya singlet-singlet juga, sama sopanan dikit pake celana panjang. Waktu akhirnya aku berhasil memasang bulu mata palsu dengan bantuan tutorial Youtube dan keluar kamar, dia udah hampir ketiduran. Dia punya ponsel, tapi hampir nggak pernah digunakannya untuk mengisi waktu. Dia cuma pakai ponsel beneran buat yang perlu-perlu aja, selebihnya, dia lebih senang mengobrol, olahraga, berjemur, dan mengganggu kehidupanku, tentu saja.

"Lama banget, sih, Thumbellina, nggak ada bedanya juga," gerutunya, lalu berdiri dengan malas. "Kirain kondean apa gimana lama banget. Udah bedakan belum, sih?"

"UDAH!" pekikku jengkel.

Oh, ternyata dia nggak singletan doang malam ini. Sambil jalan di depanku, dia mengenakan blazer senada warna turqoise lembut menuju hijau muda yang bikin aku nggak bisa berhenti membandingkannya dengan terumbu karang. Besar, bergelombang, dan hijau.

Jalannya cepat sekali (renangnya juga, pantes dia jadi juragan sarden). Padahal jalan biasa, tapi satu langkahnya sama dengan tiga langkahku. Makanya aku kewalahan. Kuikutin ngos-ngosan, kulempengin aja dipelototin.

"Ayo, jalaaan."

Tuh, kan, ngerasa dia ... aku nggak ada dekat di belakangnya.

"Ya, ini jalan, emang merayap," kubilang. "Males, ah, buru-buru nanti keringetan."

"Ya, kan, di mobil bisa dilap. Buruan."

Buruan-buruan. Lu aja sono buruan sama jenggot lu yang rock n roll. Kesel lama-lama dibiarin jadi semena-mena.

"Apa?" serunya, tau aku ngedumel tapi nggak ada suaranya. Dia sengaja berhenti lama sampai aku melewatinya, lalu berjalan santai di belakangku. Baru dapet dua langkah, tau-tau dia udah di sisiku. Aku diem aja tanganku direbut terus dimasukin ke dalam lengannya. "Kelamaan, kalau nggak bisa ngikutin, gelantungan aja, ya?"

Oke, cukup. Aku menarik kembali tanganku untuk menyambar lengannya. Sebelum dia sadar apa yang kulakukan, gigi-gigiku sudah tertanam dalam-dalam di sana. Dia menjerit-jerit, "Eee—eh ehhh! Iya, iya, iya. Udah cukup!"

"Orang becanda ada batasnya, ya," kataku dengan suara agak kencang, nggak peduli kami jadi tontonan gara-gara teriak-teriak. Hiu mengusap-usap bekas gigitan dan noda lipstik di lengan blazernya. Aku agak menyesal melihatnya meringis antara kesakitan dan malu, apalagi noda itu nggak akan bisa ilang kecuali dicuci.

"Sakit?" tanyaku prihatin.

Dia mengangguk.

"Sukurin!"

Bohong, deng. Aku nggak menyesal.

Kami tiba di rumah the birthday boy beberapa menit sebelum pukul delapan. Hiu sama sekali enggak bicara sepanjang perjalanan. Aku enggak tahu dia marah atau malah takut karena aku bisa begitu nekat, tapi kayaknya kalau takut enggak juga, sih, mana ada orang takut sengaja ngerem mendadak waktu orang yang ditakutin lagi gincuan.

Mesin mobil sudah sepenuhnya mati. Raksasa hijau itu meraih sesuatu dari jok belakang yang ternyata isinya kado. Aku mau keluar duluan, tapi rasanya canggung setelah enggak saling bicara beberapa saat. Sebelum aku mempertimbangkan untuk meminta maaf, dia buka suara duluan. "Nanti di dalam dengerin apa yang kubilang. Jangan jauh-jauh kalau enggak mau ditanyain macem-macem. Apa pun yang kubilang ... kamu ikutin."

Aku membuang muka ke luar jendela.

"Hey." Hiu menusuk lenganku dengan ujung jari telunjuknya. Aku mengibasnya dengan tanganku. "Deal?" tanyanya.

"Apa untungnya buatku ngikutin apa maunya Kakak kalau Kakak aja gangguin aku terus?"

"Entahlah ...," dia menggerakkan bahu. Alisnya naik sebelah pura-pura berpikir. "Perusahaan papimu nggak jadi bangkrut itu termasuk keuntungan apa bukan?"

Marrying Mr. SharkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang