Wattpad Original
Ada 18 bab gratis lagi

1. The One With The Wedding

98.4K 9.7K 1.1K
                                    

"Sah?"

"SAH!!!"

"Alhamdulillahhh ...."

"Ayo, Bonnie, dicium, dong, tangan suami kamu."

"Hiu, cium keningnya. Pelan-pelan, ya, diam sebentar, difoto dulu."

Pesta pernikahan itu mengambang 70 meter di atas permukaan air laut, sebuah villa seakan hinggap di puncak bukit dengan pemandangan laut sejauh mata memandang. Samudera Hindia berkilauan seperti jutaan permata yang disebarkan, berkerlip-kerlip ditimpa sinar mentari. Angin bertiup lembut, permukaan kolam raksasa dengan warna air sejernih dan sebiru lautan berkecipak kecil. Kolam itu seakan menyatu dengan lautan jauh di bawahnya, seakan tak terhingga seperti bentangan samudera dan hamparan langit. Begitu indah, sampai-sampai aku sempat berpikir ini pernikahan orang lain. Bukan pernikahanku sendiri. Sebab dengan begitu, aku pasti bisa menikmati berada di salah satu vila yang merupakan destinasi pernikahan dan bulan madu paling indah di dunia.

Aku menangis. Tubuhku seakan melayang begitu saja dibawa angin, hanya karena tanganku berpegangan pada lengan pria yang berjalan di sisiku, aku tidak tertiup bersama gaun pengantinku yang sederhana, tapi mencekik (bukan di bagian lehernya, bagian lehernya baik-baik saja. Dia mencekik karena harganya selangit). Pria itu tertawa-tawa seolah dia ikhlas menerima pernikahan ini, padahal menyentuh tanganku yang tampak begitu kecil di lengannya pun tidak. Kami sebenarnya berjalan sendiri-sendiri menuju lingkaran bunga raksasa yang seakan menjadi pintu penghubung antara bumi dan langit, antara kebebasan dan sangkar emas yang menantiku.

Dan aku menangis.

Makanya omonganku agak melantur.

Aku menangis bukan karena bahagia, tapi sebeeel! Umurku baru dua-dua. Ikut Pemilu baru sekali. Kuliah baru kelar, belum pernah kerja, belum pernah serius pacaran, ciuman bibir pakai lidah aja belum pernah. Tahun lalu nonton konser Kpop sama Karin juga masih dianter sama Mami. YouTube dan Instagram followerku baru di angka ribuan, aku belum jadi apa-apa.

Aku masih muda, nikah umur 22 itu ibarat datang ke pesta dan pulang sebelum jam delapan malam. Sebelum cita-citaku jelas aja, aku sudah yakin aku nggak mau nikah sebelum umur 30, aku mau lebih lama menghabiskan hidupku sebagai wanita bebas. Meskipun sebenarnya passion-ku, tuh, rebahan di rumah aja pake piama buluk dan kolor motif Minion, aku punya impian jadi perantau, jadi travel vlogger, backpacker, fotografer, jadi jurnalis, jadi internet personality, apa aja, selain menikah muda.

Harusnya Kak Donnie yang menikah sama CEO pabrik pengalengan sarden terbesar ke-tiga se Asia Tenggara itu, bukan aku. Dia, kan, anak sulung. Mentang-mentang dia laki-laki, jadinya lolos, selalu aja mau menangnya sendiri.

"Ya aku sama Hiu, kan, laki-laki, Bon-Bon, masa iya mau main anggar?! Lo kalau iri pake akal sehat, kek."

Ya mau main anggar juga aku nggak peduli.

Aku tuh belum pernah jatuh cinta, sementara Kak Donnie udah sering jadi mayat hidup gara-gara ditinggal pacarnya. Kenapa mesti aku yang malem-malem didatengin Mami dan dijelasin panjang lebar mengenai krisis keuangan keluarga? Semua orang juga tahu kenapa orang tua nge-share masalah keuangan ke anak-anaknya, kalau kita nggak bisa bantu, mereka nggak akan cerita.

Ya, aku tahu keuangan papi lagi sulit. Aku tahu ini satu-satunya jalan supaya perusahaan papi nggak makin bangkrut. Kalau saja Kakek Adisaloma itu bukan kakek-kakek yang manis dan baik, yang hanya karena aku menawarkan diri mendorong kursi roda lalu mengucapkan sepatah kata yang berkesan tentang cucunya, tidak memintaku menikahi sang cucu sebagai syarat kerjasama yang rupanya sudah berlangsung turun temurun, aku nggak akan memakai gaun pengantin sambil menangisi nasib di usiaku yang belum lewat 22.

Marrying Mr. SharkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang