Ha?
Maksudnya ciuman, tuh, ciuman dari mulut ke mulut, gitu?
Buset. Ngeri amat mesti ciuman di alam terbuka begini, kayak bule aja. Kalau buat orang timur kayak kita, kan, ciuman itu something personal, ya, kalau bisa dilakukan di tempat tersembunyi. Lah ini, kok, dipaksa-paksa, dijadiin tontonan pula. Aku, sih, nggak nge-judge budaya negara yang berbeda, udah biasa lihat bule ciuman berserak di jalan, tapi nggak semua orang bisa kayak gitu. Aku mundur sedikit ke balik lengan Hiu.
"Udah, dong, Om, jangan bikin dia malu. Anaknya langsung ngumpet, nih," kata Hiu, tertawa terbahak-bahak secara berlebihan seolah-olah ia tidak berada di pihakku yang lagi panas dingin ditodong ngasih pertunjukan tak senonoh.
"Kenapa harus malu?" Satu suara ikut menimbrung. Kakek-kakek di atas kursi roda. "Kalian, kan, suami istri. Apalagi baru menikah, kalau benar kata orang-orang kalian tidak pernah tampak mesra, itu bahaya. Kunci dari hubungan yang langgeng adalah kemesraan, dan banyak-banyak berciuman. Kemesraan itu harus dipupuk, dibiasakan. Aku dan Mathilda dulu tidak pernah meninggalkan sisi masing-masing tanpa berciuman!"
Tawa berderai-derai. Aku juga mencoba tertawa, tapi malah seperti tercekik.
Dan sekarang, lebih dari separuh jumlah tamu turut mengerubungiku dan Hiu.
"Well, kami berciuman, iya, kan, Sayang?" tanya Hiu, melepaskan gandengan tangannya dariku dan memindahkannya ke bahu. Aku tak punya pilihan selain kembali maju, kemudian bahuku dalam lengannya digoyangnya pelan (pelan menurut ukurannya). Aku melirik padanya dan menyadari baru kali ini aku melihatnya gugup. Senyumnya masih lebar, terlalu lebar. Giginya jadi terlihat besar-besar. Bahkan pada pernikahan kami, ia tampak tenang dan santai.
"Kapan?" tanya seseorang di antara kerumunan.
"Di mana?" sahut yang lain.
"Tunjukkan! Tunjukkan!" seru sisanya mirip rombongan demo penuntut hak. Aku ampe heran, kalau mau liat orang cipokan, kenapa nggak nonton film Hollywood aja, sih?
"Ayo Hiu ... bener nggak itu istrimu." Entah siapa lagi yang kurang ajar begitu, aku susah nelen ludah gara-gara lihat muka Hiu langsung biru pucat diteriaki sedemikian rupa.
Baru terlintas di benakku, gawat kalau harga dirinya kesinggung. Dia bisa mengambil tindakan gegabah, persis seperti waktu disuruh janji harus mau nikahin siapa aja kalau hubungan asmaranya lagi-lagi kandas. Tahu-tahu, dia menoleh, menatapku seperti meminta izin.
"What? No," kataku tanpa suara.
Hiu cepat-cepat memunggungi kerumunan. "It's just a kiss," bisiknya. "Inget janjimu di mobil tadi?"
Aku mengembuskan napas, berlindung di depan tubuhnya. Lemas, yang kutanyain malah, "Apa kartunya unlimited?"
"Seriously?" Dia langsung memekik tertahan. Gigi-giginya menggeretak. Alisnya mencuat seperti petir, lalu pupilnya mengecil. Serem banget mukanya dari dekat gini, nyaliku langsung ciut. "Kamu masih negosiasi di saat seperti ini?"
"Habis ... ini ciuman pertamaku," aku masih mencoba meminta belas kasihannya.
Dia terdiam sedetik. Detik berikutnya, gurat-gurat kemarahan di mukanya mengendur, tapi aku malah semakin takut kalau dia habis kesabaran. Kuintip di balik badannya, orang-orang yang kurang kerjaan masih menunggu dengan sabar. Seseorang menyeletuk setelah memergokiku mengintip, "Come on, newly weds, we don't have all day ...."
"Penting banget, ya, buktiin beginian?"
"Kamu lihat Vrancessa dan suaminya, kan?"
Aku menjulurkan ujung lidah seperti orang mau muntah membayangkan betapa sering suami istri itu bertukar saliva. Tapi setelah kupikir-pikir, emangnya aku mau mengharapkan ciuman pertama sama siapa? Aku, kan, udah nikah. "Okay, It's just a kiss," gumamku pasrah. Timbang nggak kelar-kelar, aku memejamkan mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Marrying Mr. Shark
RomanceBonnie diminta untuk menikahi Adisaloma Helemano Hiu karena uang perusahaan milik ayahnya dibawa kabur oleh seorang karyawan. Namun, jangankan memberi keturunan seperti yang diinginkan keluarga Hiu, Bonnie tidak yakin dirinya akan selamat dari malam...
Wattpad Original
Ada 13 bab gratis lagi