[4]. Tragedi Sendu di Hari Kelabu

3 0 0
                                    

  Senin pagi yang di kunjungi oleh awan kelabu serta rintik hujan itu menjadi pagi yang sangat di syukuri para siswa. Terbebas dari pemanggang terik semesta yang siap memanggang tiap jengkal kulit, selagi mereka berjejer membentuk baris sigap menghormat ke arah Sang Saka.

  Pagi yang dingin itu menjadi lebih menyenangkan lagi dengan kenyataan bahwa guru matematika yang seharusnya mengajar pagi itu justru menghilang ntah kemana. Mengingat kenyataan bahwa guru matematika selalu menjadi guru paling tangguh seluruh dunia. Disaat guru agama atau pun guru bahasa mengambil cuti hamil atau melahirkan, guru matematika hampir tidak pernah absen atau sekedar terlambat perkara hujan.

  Sementara itu, seperti biasa di pojok kelas dengan ukuran cukup besar seorang gadis bersurai kelam. Tampak begitu pekat dengan seluruh warna monokrom yg melekat di tubuhnya. Semesta bahkan seolah merestui aura kelamnya pagi ini.

  Gadis itu dengan netra kelamnya. Menatap malas pada tumpukkan debu di kusen jendela. Menghela tiap-tiap nafas itu seolah menjadi sebuah tugas berat baginya.

  Debu-debu ringan yang malang. Kehadirannya hampir tak disadari bahkan tidak diharapkan. Dan ketika para biadab itu sadar, yang mereka fikirkan hanya cara bagaimana debu-debu malang itu bisa di enyahkan.

  Charis menghela nafas. Hidup benar-benar tidak bisa lebih menyesakkan dari ini.

  Ia bangkit berjalan menuju ke auditorium lama. Tempat mistis penuh mitos di SMA besar serba robot ini.

  Tangan kecil pucatnya mendorong perlahan pintu kayu di hadapannya. Decitan khas pintu tua pun menggema.

  Charis melangkah masuk, membiarkan aroma kayu dan lembab menyapa penciuman nya. Hujan di luar sana masih setia membasahi permukaan bumi.

  Gadis itu berhenti di ujung pojok kanan dalam ruang auditorium itu. Meletakkan tubuh lunglainya di kasur gantung dekat lemari penuh buku dan camilan. Lengkap dengan tumpukan dus air mineral, dan sebuah lampu baca.

  Ketenangan terganggu begitu ponselnya berdering dan menampilkan nama Lio disana. Charis menggeser jarinya dan mengangkat panggilan tersebut.

  Wajah yang biasanya pucat dan hampir tidak pernah memiliki ekspresi itu, langsung menegang dan bertambah pucat. Begitu kabar tentang Lio menyapa pendengaran nya.

  Ia langsung melompat turun dan berlari keluar ruangan. Namun badannya terhempas jatuh ketika kakiknya menginjak tali sepatu yang ia biarkan tak terikat.

  Sakit yang ia rasakan memang bukan masalah besar. Namun paduan dari rasa sakit, dan kecemasan yang menggila di benaknya membuat mata itu berembun.

  "Anjing!" umpatnya.

  Charis mendogak begitu merasakan bahunya di angkat naik agar ia dapat berdiri. Pria di hadapannya lantas langsung menunduk  mengikat tali sepatu sialan yang membuat nya mendarat dengan menyedihkan.

  Keenan bangkit sambil menatap Charis yang masih menangis dengan wajah memerah. Jantungnya mencelos. Seolah jatuh tergelincir dari tempatnya.

  Bajingan macam apa yang mampu membuat gadis kaku di hadapannya ini terlihat begitu menyedihkan? Amarah di benaknya mencuat tak beraturan.

  Charis mencengkeram kemeja OSIS pria di hadapannya menghela nafas yang membuat dadanya sesak.

  "Bawa.. bawa gue ke rumah sakit" ucapnya lirih. Keenan mengernyit. Meneliti tiap sudut tubuh Charis mencari letak luka di permukaan kulit porselen itu.

  "Kamu sakit,Ris? Aku liat dulu sini" pinta Keenan. Charis menghela nafas gusar tangis nya makin berat ia ingin menjerit marah atas sisi lemah yang kini menguasainya.

GLADIOLATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang