"Ikutan sparing gak lo Thal?"
Teriakan Mada dari tengah lapangan menggema. Thalia yang sedang dikoridor lantai dua mendengar hal itu langsung menjawab dengan berteriak juga "Skip dulu dah. Gue lagi jadi cewek nih."
"Alaahh. Gak seru lo Thal." Ejekan Satria -teman Mada- tidak digubris oleh Thalia karena hal terpenting bagi Thalia saat ini adalah menemui pujaan hatinya, Yudha.
Thalia melanjutkan langkahnya menuju kelas 12 IPS 1. Sebenernya rute jalan ke kelas Yudha tuh tinggal turun tangga tapi karena kebetulan tangga itu lagi di perbaiki jadi Thalia harus muter balik. Biasanya Thalia bersama Nadine namun Nadine skip karena ada panggilan ketua ekskul.
"Nah pas banget ada kak Thalia." Langkah Thalia terhenti karena ada tangan yang memegang lengannya. Thalia menatap orang dihadapannya yang ternyata adek kelasnya dengan bingung.
Thalia menunjuk dirinya sendiri, "Gue? Kenapa?"
Adek kelas Thalia yang Thalia tidak ketahui namanya langsung menarik Thalia masuk ke dalam UKS lalu ia memberikan paksa kotak P3K ke Thalia.
"Kak please tolongin aku. Jagain sama obatin kakak yang paling ujung, dia tadi jatuh dari tangga. Jagainnya sebentar doang kok nanti balik lagi. Oke kak, duluan." setelah itu persepsi adek kelas Thalia menghilang dibalik pintu.
Thalia yang tidak mengerti tentang obat-obatan dan antek-anteknya hanya memandangi kotak P3K itu dengan kebingungan. Dulu saat terluka selesai main futsal ia hanya membasuhnya dengan air. Ia bahkan tidak membalutnya dengan kain kasa
sehingga menyebabkan bekas. Untungnya bekas itu memudar sejak Thalia mengenal skincare.Thalia mendekati bilik paling ujung tanpa membuka tirai sekatnya, "Oi, lo masih hidup gak? Gue gak bisa ngobatin orang jadi obatin sendiri." Thalia berkata demikian karena memang ia tidak mengerti cara mengobati orang. Ia bukan pmr atau pun orang yang mengerti kesehatan.
Tidak ada respon dari ujung sana membuat Thalia menggigit bibirnya. Jangan jangan orang itu beneran pingsan? Thalia langsung membuka tirai sekat lalu mendekati orang itu.
Lengan orang itu ia gunakan untuk menghalangi sinar yang masuk dari jendela dibelakangnya. Thalia bisa melihat siku orang itu berdarah. Thalia berdecak pelan karena bertemu dengan darah adalah hal yang menyebalkan.
Thalia mendekatkan wajahnya untuk melihat siapa itu tapi tetap saja tidak terlihat. Akhirnya Thalia berencana mengangkat lengan cowok itu untuk mengintip namun tiba tiba cowok itu menahan kepala Thalia dengan jari telunjuknya.
"Gausah deket-deket gue."
"Bangsat kaget. Bisa bersuara loh dia."
"Ya lo kira gue makhluk astral?" Cowok itu akhirnya menyingkirkan lengan dan membenarkan posisinya menjadi duduk lalu menatap dingin Thalia.
Thalia langsung melotot. Itu cowok yang kemarin membuat ia harus menahan kesal ditengah panasnya matahari. "Lo es teh kan?!"
"Gue Januar, bukan es teh."
"Gak butuh nama lo. Lo yang sengaja minum es teh didepan gue kan?"
Cowok itu diam. Tangannya merebut kotak P3K dari tangan Thalia dan membukanya. Hal itu sontak membuat Thalia emosi "Jawab kek! Kalo ada orang ngomong ya sautin kek."
"Oh, lo ngajak ngomong gue ternyata."
Sudah cukup. Thalia sangat emosi sekarang. Thalia berniat meninggalkan Januar. Ia harus meredakan emosinya. Baru saja ia ingin melangkah pergi meninggalkan Januar, tangannya terasa digenggam dan sontak ia langsung menoleh ke sang empu "Obatin."
Thalia menggeleng "Gak. Obatin sendiri. Punya tangan sama mata kan? Pake tuh." Tidak ada balasan dari Januar.
"Gue takut sama darah. Makanya obatin." Pernyataan Januar membuat Thalia terdiam. Lantas Thalia mengambil beberapa kapas dari P3K "Lo yang ngarahin, gue sama sekali gak ngerti tentang ginian."
Ucapan Thalia membuat Januar tertawa. Tertawa dalam kutip di dalam hati. "Gitu aja gak bisa." yang menimbulkan suara berdecih dari Thalia.
"Ambil alkohol. Itu yang botolnya putih, nah itu tuh. Terus bersihin luka gue." Thalia membersihkan luka Januar dengan teliti, kadang meniupnya membuat Januar harus menahan geli. Thalia kadang melihat kewajah Januar untuk memastikan dia kesakitan atau tidak. "Kenapa lo bisa luka dah?"
"Sekarang lo peduli?"
"Ck. Kita baru kenal, jangan sok iye."
"Gue ngantuk terus gak liat jalan makanya jatuh."
"Nah itu lo ambil obat merah. Lo taruh di sekeliling luka biar gaada kuman yang masuk lewat celah.""Kalau kuman nya terbang dan langsung nemplok di luka lo gimana?"
"Mereka gak punya sayap jadi gabisa terbang."
Thalia mengangguk dan memilih diam. Sia-sia dia berurusan dengan si es teh. Ia meneteskan obat merah dengan sangat teliti. Thalia tidak tahu bahwa Januar sedang memperhatikannya. Lagi-lagi Thalia meniup lukanya yang membuat fokus Januar buyar. Rasanya, bukan cuma lukanya yang tertiup namun seluruh raganya juga.
"Kak Thaliaaaaa." Suara adek kelasnya membuat Thalia memberhentikan kegiatannya. Thalia yang memegang hansaplast langsung memberikannya ke Januar. Dia menatap Januar sekilas lalu berkata "Gue duluan ya es teh, sisanya dia yang ngurus." Lalu Thalia pergi setelahnya. Meninggalkan Januar dengan muka cengo bersama adek kelasnya.
"Sini kak aku obatin."
Sontak Januar menggeleng dan langsung berdiri dari ranjang. Ia tersenyum kepada adek kelasnya, "Gak usah. Gue udah sehat." Kemudian persepsi Januar hilang ditelan pintu.
Hal itu membuat adek kelas -Sarah- menggaruk kepalanya tidak gatal. Seingat dia, tadi Januar panik saat melihat darah bahkan ia tadi melantur kalau dirinya akan mati, Sarah yakin itu. Tapi apapun itu ia berterima kasih ke Thalia karena berhasil menjinakkan Januar.
ㅤ
☁️
ㅤ
ㅤ"Gam."
"Hm?"
"Gue punya luka baru nih." Januar menunjukkan luka di siku nya dengan bangga. Bahkan ia tersenyum seperti mendapat jackpot. Hal itu membuat Gama tersenyum. Seingat Gama tadi, Januar jatuh dari tangga hanya siku nya yang terbentur bukan kepalanya.
"Cepet sembuh. Lo lagi gila." Ucapan Gama berakhir dengan Gama menepuk pelan pundak kembarannya lalu pergi.
ㅤ

KAMU SEDANG MEMBACA
Redamancy. - Lee Juyeon
FanfictionRedamancy (n.) kondisi dimana kita mencintai seseorang dan ia membalasnya. Thalia mempunyai seribu daya tarik yang membuat Januar terpikat. Fanfiction of, Son Eunseo and Lee Juyeon.