Bab 3

78 79 13
                                    

  Rintik hujan menjadi saksi ketika diagnosis dokter menunjukkan tanda keseriusan pada suatu hal yang dialami Mifah. Bersandar pada dinding, kepala tertunduk lesu dengan aliran cairan bening membasahi pipi kedua wanita muda. Mereka tidak tahu apa-apa mengenai masalah yang dialami oleh Mifah hingga depresi.

  Hiruk-pikuk rumah sakit pun seolah tidak berarti apa-apa pada kehampaan relung hati Raya. Ia tidak bisa memikirkan hal apa yang bisa membuat Mifah menjadi seperti itu. Benar-benar tidak terbayangkan jika Mifah bisa mengalami depresi hingga otaknya tidak mampu mengingat hal-hal tertentu.

  Raya tidak menyangka, kehadiran dirinya ternyata belum sedekat saat masa SMP. Justru semakin jauh karena faktor pemotretan yang padat. Tatapannya menerawang jauh pada masa orientasi saat masa SMP.

  “Hai, boleh kenalan?” sapa seorang gadis berkacamata dengan mata panda dibaliknya.

  Gadis berlesung di pipi kirinya pun menoleh kikuk dan menghentikan perbincangan pada teman di sebelahnya. Ia mengangguk dengan tersenyum.

  “Aku Azima Raya. Kamu?” Gadis berkacamata menyodorkan tangannya meminta jabatan.

  “Mifah,” timpal gadis berlesung dengan menjabat tangan Raya. “Ini Naiti.”

  “Wah, kalian satu SD?” tanya Raya menyambung topik pembicaraan.

  Mifah mengangguk dengan senyuman. “Aku panggil kamu apa? Raya?”

  Raya terkekeh pelan. “Boleh apa aja senyaman kamu, Mif.”

  “Kamu dari SD mana, Ra?” tanya Naiti lebih bisa beradaptasi.

  Raya tersenyum hambar, matanya kembali berkaca-kaca. Dari awal bertemu, Mifah memang sulit beradaptasi. Ia pernah bercerita jika menjelang UN, Mifah di-bully satu kelas hanya karena sebuah kertas. Raya menghela napas berat, ia juga tidak salah ingat jika Mifah baru menceritakan pembullyan setelah masalah itu semakin membesar.

  “Mifah selalu memendam semuanya sendiri, Ra.” Nayra yang sejak tadi terdiam akhirnya angkat bicara. “Kita yang masuk kategori sahabatnya aja nggak tau dia depresi karena apa.”

  Raya mengangguk setuju. “Karena jadwal pemotretan makin padat, aku juga nggak bisa hubungi Mifah beberapa minggu ini.”

  Nayra mendongak, menatap langit-langit koridor rumah sakit. “Aku juga terlalu sibuk sama perkantoran. Menurutmu, Ra. Mifah kenapa?”

  Raya menghela napas panjang, ia memijit pelipisnya. “Aku nggak bisa mikir apapun, Nayra. Kamu tau sendiri Mifah jarang terlihat ada masalah. Dia selalu ceria, terus berusaha tersenyum meski hatinya terluka. Mungkinkah ada peramal yang tau hal itu sekalipun?”

  “Aku rasa tidak. Tapi, Ra, maaf aku ganggu waktu santaimu. Padahal jarang banget kamu bisa ada waktu sama doi.” Nayra menoleh pada Raya dengan memelas.

  Raya terkekeh. “Apaan, sih! Santai aja kali. Lagian apaan tuh wajahmu, kocak!” ledek Raya disertai tawa kecil.

  “Ih, aku ‘kan ngerasa bersalah.” Nayra kembali berpikir. “Mungkin nggak sih Mifah pernah insecure?”

  Raya menoleh, ia terdiam memikirkan pertanyaan Nayra. Benar juga. Seingat Raya, Mifah selalu ceria jadi kemungkinan insecure hampir lima persen. Akan tetapi, mungkinkah rasa insecure bisa membuat Mifah depresi seperti saat ini? Raya tidak tahu dan tidak bisa menduganya.

  Ceklek!

  “Saudara Mifah telah siuman, apakah kalian ingin menemaninya sebentar? Saya juga perlu meneliti apa saja yang telah Saudara Mifah lupakan.”

Don't Insecure Again [Tersedia di Shopee]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang