Merentangkan tangan, Raya mengerjapkan mata. Ia menguap dan lekas turun dari ranjangnya. Melihat sekeliling, seketika ia terkekeh mengingat kejadian semalam. Ingatannya kembali terputar selagi langkahnya menuju kamar mandi.
***
“Ra, udah sampe, nih. Ra?”
Tepukan lembut Syad membuat Raya menggeliat. Ia enggan membuka mata. “Males ... jalan,” gumamnya.
Terkekeh, Syad pun menuruti keinginan tersirat kekasihnya. Ia keluar dari mobil sembari mengangkat tubuh Raya. Karena sangat larut, tak seorang pun melihatnya. Sebuah keuntungan tersendiri bagi karier mereka, terselamatkan dari gosip yang tidak senonoh.
Fitur pintu di rumah Raya merupakan teknologi terbaru. Cam scanner mampu mengenali wajah Syad, hingga tak perlu susah payah mengambil kunci di tas Raya. Satu langkah telah Syad jejakkan, semua penerangan pun menyala dengan sendirinya. Begitulah fitur untuk mengetahui bahwa ada penghuni yang dikenal. Memudahkan sang pemilik rumah agar tidak kemalingan.
“Ra, aku turunin di sini, ya?” tawar Syad perlahan menurunkan Raya pada sofa di ruang tamu.
Raya semakin erat mengalungkan tangannya di leher Syad. Ia benar-benar malas untuk malam ini, mungkin lebih tepatnya ingin dimanja. Tersenyum manis, Syad pun kembali mengangkat tubuh Raya.
“Mungkin PMS,” batin Syad menyimpulkan.
Dengan perlahan, Syad membawa Raya menuju depan pintu kamarnya. Ia menghela napas ketika ingat Raya takkan suka bila ada yang memasuki kamarnya tanpa izin.
“Ra, udah di depan pintu kamar.” Syad menurunkan Raya yang mengerjapkan mata. “Jangan lupa cuci muka dulu, ya.”
Raya mengucek kelopak matanya, ia mengangguk patuh. “Kamu jangan pulang sekarang. Dah malem, tidur di kamar tamu kalo nggak mau di sofa.”
Syad mengelus lembut rambut Raya. “Have a nice dream, Ra.”
Berdeham, Raya segera memasuki kamar dan menguncinya. Tersenyum manis, wajah kantuk Raya tampak imut di mata Syad. “Untuk ke depannya, semoga kamu bisa jadi diri sendiri, Ra. Kamu perlu tau kalo kamu lebih cantik dari yang kamu kira. Aku akan bantu menunjukkannya,” tekad Syad dalam batin.
***
“Aw!” rintih Raya ketika menggosok sabun cuci muka pada dahinya.
Menelan ludah, matanya seketika membulat. Raya mendekatkan wajah ke cermin. Sangat jelas, benjolan merah kecil di dahinya terlihat. Musuh terbesar Raya selama ini, hal yang membuatnya bisa mengurung diri tiga hari dalam kamar.
“Jerawat?! Gi-gimana bisa? Kapan? Kenapa? Oh, nooo!” cerocosnya kian panik dengan napas memburu.
Raya membasuh wajahnya dengan air. Menatap cermin begitu dalam, berusaha mengingat hal yang sekiranya bisa memunculkan musuhnya itu. Mendengkus sebal, Raya menunduk ketika ingat bahwa tadi malam dia lupa mencuci wajah sebelum tidur. Dengan menyesal, Raya perlahan berjongkok seraya menelungkupkan tangan.
“Padahal, Syad udah ingetin aku. Bisa-bisanya lupa gara-gara ngantuk banget. Sekarang ... aku harus ngapain biar jerawatnya hilang?” batin Raya sembari berpikir keras, lalu menghela napas panjang.
***
Tok! Tok!
“Masuk aja!”
Ceklek!
Mifah menutup novel Bumi karya Tere Liye, beranjak dari sandaran ranjangnya. “Loh, Raya? Bukannya,”—Mifah mengernyit heran—“pemotretan, ya?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Don't Insecure Again [Tersedia di Shopee]
RomantizmWanita berparas rupawan dengan baju pasien tengah tersenyum. "Meskipun aku belum mengingatmu sepenuhnya. Aku sedikit paham tentang rasa insecure-mu, Ra," ujarnya sembari menepuk bahu Raya. "Aku harap, kamu segera mengingat segalanya. Karena kamu o...