02. Tanpa ada seorang pun yang peduli

133 16 15
                                    

Selamat Membaca✨

Selamat Membaca✨

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Jingyuan Ge."

Jingyuan yang sedang memasak langsung menghentikan gerakannya, saat panggilan dari sang adik mengudara. Segera mematikan kompor, dan mengelap tangan yang basah terkena air. Mendekati Sixu yang duduk diam di kursi meja makan.

"Kenapa?" tanyanya, Jingyuan tambah menyerngit bingung saat Sixu mendesis lirih.

"Gue nggak mau makan dulu, perut gue sakit banget," jawab Sixu sambil memegang perutnya.

Sontak Jingyuan panik, dan segera mengambilkan air putih hangat.

"Masih sakit? Lo tadi salah makan apa? Nggak makan aneh-aneh kan?"

"Iya, gue cuman sarapan bubur kan tadi pagi sama Gege."

"Kita ke dokter aja gimana?"

"Nggak usah, gue udah nggak papa Ge. Mungkin cuman mules aja."

"Kalau bukan mules aja gimana? Gue nggak mau lo kenapa-napa ya. Jangan ngeyel deh kalau dibilangin."

"..."

"Ck, yaudah nggak jadi. Lo istirahat aja—"

"—Tapi kalau nggak makan nanti perut lo malah makin sakit Sixu?"

Sudahlah, Sixu kalah dengan Kakaknya satu ini. Ada saja alasannya. Padahal perut Sixu saja rasanya sudah seperti di aduk-aduk. Jika dimasukkan makanan, apa tidak keluar lagi?

Tapi ada benarnya juga kalimat Kakaknya. Kalau tidak diisi juga malah tambah sakit perutnya. Karena kosong setelah sarapan tadi pagi.

"Iya iya Ge, gue makan sekarang. Tapi dikit aja ya," ucap Sixu mengalah.

"Oke."

Sixu akhirnya makan dengan Jingyuan. Dan disodorkan obat setelah selesai makan oleh Kakaknya.

"Makasih Ge, gue istirahat dulu."

"Hati-hati jalannya, gue mau cuci piring dulu. Langsung tiduran, jangan ngelakuin apa-apa. Istirahat yang bener ya, jangan bohongin gue."

Sixu tertawa kecil dan mengangguk, "Iya, Jingyuan Ge juga harus istirahat yang bener ya," ucapnya kembali.

Ia rebahkan dengan perlahan tubuhnya ke kasur. Menempatkan tongkat ke samping. Dan melakukan apa yang disuruh Jingyuan. Istirahat yang benar.

Rasanya Sixu bersyukur mempunyai Kakak seperti Jingyuan. Satu-satunya keluarga yang ia punya sampai sekarang. Dia jadi teringat mendiang sang Ibu yang selalu menasehatinya agar akur dengan sang Kakak.

"Sixu, nanti kalau anak Ibu sudah besar, harus akur sama Kakakmu ya. Kalian berdua bakal sukses sama sama. Jangan pernah bertengkar, kalau semisal ada masalah bisa berbagi cerita sama Ibu atau Ayah. Kalian berdua anak Ibu, Ibu dan Ayah sayang banget sama kalian."

Kenyataan yang dihadapi Sixu sekarang memang begitu. Banyak masalah yang datang setelah kecelakaan terjadi.

Dulu Ayah mereka masih menerima Sixu, masih mau merawat Sixu dan Jingyuan. Walau sudah ditinggalkan istrinya.

Tapi, semakin Jingyuan dewasa, Ayah mereka malah semakin tidak peduli. Yang awalnya sering menyempatkan bermain dengan kedua putranya, lama kelamaan tidak. Menyapa saja tidak sempat.

Sixu pun tidak pernah diurusi lagi. Seakan menyerahkan semua kewajiban seorang Ayah kepada anak yang tertua. Jingyuan dengan senang hati mengurusi semua kebutuhan hidup Sixu dan dirinya sendiri.

Dan setelah pertengkaran besar beberapa tahun lalu,

"Ayah tidak pernah mempunyai anak yang buta?! Ayah bahkan belum beristri, apalagi mempunyai satu anak yang punya banyak kekurangan?! Ayah tidak akan menerima dia disini lagi?!"

Sixu sakit hati. Dirinya saja yang menyusahkan disini. Bahkan sampai tidak dianggap anak sendiri?

Tidak ada yang peduli.

Suatu saat nanti, Sixu janji akan mengembalikan semua perhatian dan waktu yang Jingyuan berikan untuknya secara percuma.

Sixu rasa malah tidak pantas.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
좋아해서 미안 [Chen Sixu]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang