18. menyerah

412 100 44
                                    

Resah adalah sebuah rasa yang menguasai hati Naru, bahkan semenjak ia baru saja membuka mata di pagi hari tadi. Makan paginya tak lagi nikmat, kopi hitam favoritnya pun terasa hambar di lidah. Ia selalu saja teringat wajah penuh derai air mata Hinata. Kekasihnya itu terus saja menangis selama perjalanan pulang dari rumahnya tadi malam.

Waktu tidak pernah berjalan selama ini baginya. Ia kembali mondar-mandir di kamar restorannya, kembali mengecek jam di pergelangan tangannya entah untuk yang ke berapa kali. Ketika arlojinya menunjukkan pukul setengah 12 siang, Naru segera bergegas turun ke lantai dasar. Di jam seperti ini biasanya para karyawannya sudah berkumpul untuk melakukan briefing.

Naru ingin sekali segera menemui Hinata. Bukan hanya karena rindu, ia pun begitu khawatir mengenai keadaan kekasihnya itu setelah insiden tadi malam bersama Kakashi. Apalagi semalaman nomor telepon wanita itu tidak dapat dihubungi sama sekali, bahkan sampai detik ini.

Ketika Chef tampan itu telah ada di hadapan karyawan-karyawannya yang berdiri dengan sikap siaga, ia mengernyitkan dahi. Sebab sosok yang sedari tadi ia pikirkan ternyata tak berada di antara mereka.

"Nata mana?" bukannya mengucapkan kalimat sapaan, pria itu justru menanyakan keberadaan wanita itu.

"Sepertinya dia absen hari ini, Chef. Mungkin sakit?" Kiba adalah seseorang yang menjawabnya, mewakili rekan-rekannya.

Dalam diam Naru menarik napas panjang. Rasa cemasnya makin tak tertahankan. "Ya sudah. Selamat bekerja untuk kalian semua. Menu spesial kita hari ini sesuai dengan kesepakatan kemarin, silakan dikerjakan dengan sebaik mungkin," ucapnya.

"Yes, Chef!" mereka yang berada di hadapan Chef Naru tampak mengerutkan dahi, meskipun masih terdengar kompak menjawab instruksi. Pasalnya baru kali ini pemimpin mereka itu tidak memberikan briefing panjang lebar. Ada apakah?

Sementara itu Naru segera bergerak menjauh, kembali menuju tangga seraya meraih gawai di dalam saku celana. Ia kembali mencoba menghubungi nomor Hinata sekali lagi, namun hanya suara operator jaringan yang kembali terdengar di seberang sana, mengatakan bahwa nomor kekasihnya sedang tidak aktif dan hal-hal lainnya yang sudah tak mampu lagi masuk ke kepala.

Aku harus menemuinya sekarang!

Ketika sebuah keputusan mendadak hinggap di pikiran, kaki panjang itu urung menjejak anak tangga. Tubuhnya justru berbalik kemudian melangkah menuju Sang sous-chef yang sudah berada di tempatnya, memanggilnya. "Kiba."

Yang dipanggil segera menoleh, memilih menghentikan sejenak kegiatannya memeriksa catatan bahan makanan yang harus ia angkut ke dapur. "Ya, Chef?"

"Saya titipkan restoran ini padamu. Saya ada urusan pribadi, mungkin akan memakan waktu cukup lama. Bisakah kamu menghandle semuanya?"

"Siap!" Kiba mengangkat tangan kanannya, menempelkannya di pelipis, memberi hormat seperti seorang Tentara, lengkap dengan senyum lebarnya. "Serahkan semuanya pada Kiba, Chef. Saya bisa diandalkan."

"Baiklah, terima kasih." Naru mengangguk lega, menepuk sekilas salah satu bahu sous-chefnya sebelum beranjak pergi menuju pintu keluar. Salah satu tangannya tampak merogoh kantung celana, mengambil kunci mobil dari sana.

"Chef Naru kenapa?" Sasuke bergerak mendekati posisi Kiba ketika bertanya, diikuti 2 rekan lainnya. Mata pria itu masih mengikuti pergerakan Chef Naru yang berjalan menuju mobilnya di parkiran, tampak dari jendela besar restoran.

"Entahlah. Sepertinya Beliau sedang ada masalah dengan kekasihnya, si Nata." Kiba menjawab sesuai praduganya, lalu kembali sibuk pada catatan di tangannya. Hubungan asmara antara Sang Chef pemilik restoran dengan tukang cucinya itu sudah menjadi rahasia umum setelah mereka semua memergoki keduanya sedang berciuman mesra kala itu.

Kiss The Pain✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang