24. memilikimu

451 74 65
                                    

Kaki bersepatu kaca itu menjejak pelan akibat gaun pengantin yang begitu menjuntai panjang. Sebagai seorang suami yang baik, Naru tampak turut memegangi ekor gaun pengantin istrinya. Keduanya melangkah bersama menuju salah satu suite room yang sudah mereka sewa sebelumnya dengan senyuman terpatri.

"Kamar kita ada di depan sana, Sayang." Naru menunjuk pintu bernomor 101 di sisi kanan. Dan Hinata hanya memberikan anggukan sebagai respons. Sungguh, ia gugup. Membayangkan apa yang akan terjadi di balik pintu itu, pipinya merona.

Ketika suaminya sedang membuka pintu dengan menggunakan sebuah kartu, Hinata tampak memegangi dadanya, menatap punggung tegap itu dengan jantung bertalu-talu. Ia masih tidak menyangka bahwa pria di depannya adalah suaminya. Bahkan ia masih sukar percaya bahwa kini dirinya adalah seorang istri dari seorang chef terkenal.

Mimpi apa Hinata semalam?

"Silakan masuk, Istriku." Naru mengulurkan tangan pada Hinata setelah menepikan tubuhnya, memberikan akses masuk untuk Sang istri.

Sedangkan Hinata segera menerima uluran tangan itu. Dipanggil dengan sebutan baru, wajah wanita itu semakin memanas dibuatnya. "Terima kasih."

Namun, baru tiga langkah Hinata bergerak tiba-tiba gawai yang ia pegang terasa bergetar. Ketika ia melihat ke layarnya, ia mendapatkan 3 pesan.

+8164367******
Hai, selamat malam, Sayang.

Apa kau masih mengingatku?

Kau tahu? Aku kembali merindukanmu.

Kening mulus itu tampak mengernyit membacanya. Meskipun tanpa nama, Hinata sepertinya tahu siapa pengirim pesan itu. Bila diperhatikan, wajah jelita itu terlihat panik dan menegang. Buru-buru ia menghapus pesan itu, lalu mematikan gawainya.

Dan hal tersebut tak lepas dari perhatian suaminya. Pria blasteran itu menyipitkan mata menatap Sang istri sambil menutup pintu kamar dengan tangannya yang bebas.

"Ada apa?"

Sadar sedang diperhatikan, Hinata segera mengukir senyuman kaku. "T-tidak apa-apa. Hanya notifikasi tidak penting."

Naru kedapatan menghela napasnya. Pria itu memilih untuk tak bertanya lebih jauh. Jika istrinya bilang tidak apa-apa, artinya tidak ada yang perlu dikhawatirkan, bukan?

"Ya sudah. Selamat datang di kamar pengantin kita, Sayang." Naru mengukir senyuman tampan, lalu menuntun Hinata pada sofa panjang warna burgundy di sisi kiri.

"Terima kasih." Sesuai instruksi, wanita itu mendudukkan diri di sisi Sang suami. Ia menghela napas panjang untuk merileksasikan diri seraya menyandarkan punggungnya pada punggung sofa, sekedar untuk melepas penat. Mencoba melupakan pesan tadi, kedua mata indahnya menelusuri ruangan, menilai pada setiap sisinya.

Kamar itu cukup luas dengan interior mengagumkan. Ada sebuah sofa panjang yang sedang mereka duduki saat ini, di sebelahnya ada sebuah ranjang King size yang menghadap televisi besar berlayar datar. Di ujung sebelah kanan terdapat sebuah dapur mini, dan tepat di depannya ada sebuah pintu yang Hinata tebak adalah pintu kamar mandi.

"Apa kau lelah?"

Hinata kembali menjatuhkan atensi pada wajah Naru ketika pria itu memberinya satu pertanyaan. Hinata geleng-geleng kepala disertai kekehan merdu, suaminya begitu perhatian. "Kau sudah dua kali bertanya hal yang sama, Naru."

Pria blasteran itu memiringkan tubuhnya agar mampu duduk berhadapan dengan Hinata, menatap mata indah wanitanya dalam-dalam. "Aku hanya tidak ingin memaksamu. Ini malam pertama kita sebagai pasangan suami-istri, kau tentu paham apa maksudku, Sayang." Ia sedikit menjeda ucapannya ketika menyelipkan anak rambut Sang istri ke belakang telinga. "Aku ... ingin meminta hakku sebagai suamimu."

Kiss The Pain✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang