15. aku menyukaimu, bagaimanapun dirimu

478 96 115
                                    

Lega. Seakan beban berat yang ia pikul seorang diri di kedua pundaknya lenyap seketika saat melihat stempel lunas tercetak tebal pada secarik kertas bukti pembayaran rumah sakit adiknya. Hinata tersenyum, memasukan kertas itu ke dalam tas selempangnya, lalu mendongak demi menatap wajah rupawan pria yang bersamanya. Pria itu Naru, kekasihnya.

"Terima kasih, Chef. Anda baik sekali. Saya berjanji, suatu saat nanti saya pasti akan mengganti uangnya," ucapnya. Ada sedikit nada tidak enak hati dalam suara lembut wanita itu.

"Sama-sama. Kau tidak perlu menggantinya, Nat." Naru membalasnya dengan senyuman hangat. "Sesuai ucapanku tempo hari, jika kau mau menjadi kekasihku, maka aku akan memenuhi semua kebutuhanmu, termasuk biaya rumah sakit adikmu. Ah, dan satu hal lagi, kau tidak boleh lagi melakukan pekerjaam malam mulai sekarang. Jika kau butuh uang, bilang saja. Aku akan memberikannya."

Raut keberatan itu hadir menghiasi wajah Hinata. Pasalnya, nominal uang yang baru saja pria di depannya itu keluarkan cukup besar, apalagi ditambah uang transferan kemarin siang untuk membayar 'jasa'nya. Yah, meskipun pada kenyataannya malam itu mereka tidak berbuat apa-apa. Mereka hanya tidur bersama, saling mendekap sembari berbagi cerita.

Jika dihitung-hitung, Naru sudah menggelontorkan dana berpuluh-puluh juta untuknya, padahal belum genap 2 hari hubungan mereka resmi sebagai pasangan kekasih. Ia hanya tidak mau dipandang sebagai perempuan materialis. Ia masih mempunyai sisa harga diri, meskipun sebagian besar harga dirinya sudah ia jual demi menghasilkan uang haram.

"T-tapi---"

"Ssttt ...." Naru menempelkan jari telunjuk di permukaan bibir Hinata, seakan tidak mengizinkan wanita itu memberikan penolakan. "Lebih baik kita temui Hana sekarang."

Pembicaraan singkat itu berakhir ketika Naru merangkul pinggangnya, menganjaknya berjalan menelusuri koridor menuju ruang perawatan Hanabi. Kebetulan ruangan itu tidak begitu jauh dari ruangan kasir yang sempat mereka berdua kunjungi. Ada sebuah paperbag yang pria itu jinjing sejak tadi di tangan kiri.

Pintu ruang rawat inap itu Hinata buka setelah ia mengetuk permukaannya dua kali. Hanabi yang duduk bersandar pada kepala ranjang segera meletakkan gawainya---yang sempat ia mainkan---ketika melihat Sang kakak datang bersama pria asing memasuki ruangannya.

Wajah itu memang terlihat pasi, namun raut bahagia itu jelas terpancar di kedua matanya. Beanie yang sempat Hinata berikan terpasang rapi di kepalanya, menutupi kulit kepala gadis kecil itu yang nyaris gundul.

"Kak Nata ...."

Hinata mendekat, mencium kening adiknya sekilas sebelum mendudukkan diri pada kursi besi di sisi ranjang. "Bagaimana keadaanmu, Sayang?"

"Hana baik." Gadis kecil itu mengangguk, kemudian dia mengalihkan pandangannya pada pria yang masih saja berdiri menjulang di belakang sosok kakaknya. "Ngomong-ngomong, Om itu siapa?" tanyanya dengan sedikit berbisik.

Dan atas pertanyaan Hanabi, Hinata tertawa kecil. "Dia belum om-om, Hana. Dia Chef Naru, teman kakak." Ia menoleh ke belakang, meminta kekasihnya untuk bersuara lewat gestur tubuhnya.

Naru segera paham maksud Hinata. Yah, meskipun ia sedikit tidak suka saat wanita itu menyebutnya hanya sekedar 'teman' pada adiknya. Namun, sebagai seorang yang sudah 'terlalu' dewasa, ia lebih memilih mengesampingkan perasaan itu. Maka ia mengukir senyuman paling ramah yang mampu ia cipta untuk adik dari kekasihnya.

"Selamat malam, Adik. Kau tidak mengenaliku?" Naru mencoba memancing pertanyaan pada gadis kecil itu, karena malam ini ia memang sengaja tidak menutupi wajahnya yang sering kali berseliweran di layar kaca. Namun, yang ia dapati justru Hanabi yang mengerutkan kening menatapnya.

Kiss The Pain✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang