27. rendah diri

275 73 22
                                    

Foto merupakan kenangan yang dibekukan. Jari-jemari mungil Hanabi berkali-kali menggeser layar gawainya demi menggali setiap memori indah dalam potret-potret di folder galeri.

Gambar di sana menunjukkan betapa bahagianya ia dan keluarganya dulu ketika masih utuh, ketika orang tuanya masih ada. Meskipun bibir tipis nan pucat itu mengukir senyum, namun kedua matanya tampak berembun. Ia rindu.

"Selamat pagi, Hana."

Hanabi segera menghapus air matanya---yang bahkan belum sempat mengalir---ketika pintu kamar perawatannya terbuka, menampilkan sosok Sang kakak beserta Kakak iparnya. Ia cepat-cepat menekan tombol power agar layar gawainya mati. Selanjutnya, ia memberikan senyum tipis untuk menyambut kedatangan mereka.

"Pagi, Kak ...."

Hinata bergerak mendekat diikuti sosok Naru yang bersedekap. Lalu wanita yang tengah hamil muda itu duduk pada kursi di sisi ranjang Hanabi. Sejenak ia merapikan selimut adiknya. Wajahnya terlihat begitu ceria. "Bagaimana kondisimu, Sayang?"

"Hana baik, Kak. Cuma sedikit pusing," aku Hanabi. Padahal gadis kecil itu tampak lebih pucat dari biasanya. Namun, semua itu tersamarkan oleh raut mukanya yang ia buat riang gembira.

Sementara Naru yang berdiri di belakang kursi Hinata menemukan bahwa jatah sarapan Hanabi masih tak tersentuh, masih tergeletak di atas meja kecil di sisi ranjang.

"Sarapanmu masih utuh?" tanya pria itu. Pertanyaan yang membuat Sang istri menatap ke arah yang sama.

Dan Hanabi hanya mengangguk kemudian berucap lirih. "Hana mau disuapi."

"Astaga, sedang kumat manjanya." Kekehan ringan mengiringi ketika Hinata meraih food tray di atas meja, lalu meletakkan di pangkuannya.

"Habisnya Hana kangen."

Mendengar pengakuan adiknya, wanita itu menghentikan segala gerakan seiring senyumannya menghilang. Pasalnya sudah berhari-hari ia tidak menemui Hanabi. Terlebih setelah ia mengetahui kehamilannya, morning sickness yang ia alami makin parah saja.

"Maaf, ya ... kemarin Kakak tidak datang. Kakak sedikit kurang enak badan."

"Kakak sakit?" Hanabi mempertemukan tatapan matanya dengan ekspresi cemas yang begitu kentara.

"Iya. Tapi kau tidak perlu panik begitu, Hana. Kakakmu memang sakit, namun sakit yang membawa kebahagiaan." Naru berucap, mewakili istrinya. Tak lupa ia mengukir senyum cerah ketika mengatakannya.

"Sakit ... membawa kebahagiaan?" agaknya Hanabi tidak mengerti maksud kakak iparnya itu. Terbukti dengan alis-alisnya yang nyaris bertaut.

"Karena ini." Pria blasteran itu menyentuh permukaan perut Hinata yang masih datar, sedangkan wanita itu tersenyum samar.

"Kak Nata sakit perut?!" semakin dalam saja kerutan di dahi Hanabi melihatnya. Hal yang sukses membuat tawa Hinata mengudara.

"Astaga ... bukan, Sayang. Maksud Kak Naru, di dalam sini ada adik bayinya." Wanita itu menimpakan telapak tangannya di atas punggung tangan Sang suami. Usia kandungannya baru menginjak 6 minggu, itu yang mereka ketahui dari hasil USG.

"A-adik bayi?" mata indah Hanabi membola, terkejut bercampur tak percaya. Ah, sepertinya ia baru mengerti sekarang. Ia benar-benar tidak menyangka.

Dan anggukan Hinata adalah sebuah konfirmasi membenarkan. Lalu ia meraih kedua tangan Sang adik untuk ia genggam.

"Selamat, Sayang. Kau akan mejadi seorang bibi sebentar lagi."

Naru menarik tangannya, beralih meremas salah satu bahu Sang istri, namun atensinya lurus pada Hanabi. "Apa kau senang?"

Kiss The Pain✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang