20. keyakinan

392 98 37
                                    

"Syukurlah kau pulang, Nak. Ayah baru saja akan meneleponmu." Kakashi urung menekan ikon panggil pada kontak nomor telepon Naru di ponselnya ketika sudut matanya menangkap presensi seorang yang awalnya ingin ia hubungi. Ia tidak menyangka bahwa putranya akan pulang secepat ini setelah pertengkaran mereka malam itu. "Ayah sedang ingin makan malam bersamamu."

Mendengar suara Sang ayah, sosok Naru tampak berhenti sejenak di ambang ruang makan. Mata birunya melirik presensi Kakashi yang duduk santai di salah satu meja kayu di sana dengan enggan.

"Kau makan saja sendiri. Ajak saja wanitamu itu, aku tidak sudi semeja makan denganmu." Pria blasteran itu berucap ketus.

Sungguh, setiap kali ia mengingat kejadian di malam Kakashi menghina sang kekasih, rasa kesalnya terhadap pria itu semakin besar saja. Ia tak habis pikir, bisa-bisanya saat ini Kakashi bersikap seakan tak pernah terjadi konflik di antara mereka?

"Baiklah, sepertinya kau sudah makan malam. Selamat beristirahat." Namun, Kakashi masih saja bersikap setenang air kolam. Seakan tidak menyadari raut penuh amarah dari putranya, ia justru mengembangkan senyuman ketika Naru melangkah panjang ke arah tangga menuju kamarnya.

Kakashi hanya tidak tahu bahwa tujuan Naru pulang ke rumah adalah untuk angkat kaki dari sana. Setelah berpikir matang-matang, pada akhirnya pria blasteran itu lebih memilih Hinata. Yah, meskipun begitu berat ketika memutuskan hal itu, sebab dirinya memang begitu menyayangi Kakashi, tetapi ia pun merasa begitu lelah dengan sikap egois ayah angkatnya itu.

"Rin, temani aku makan, ya?" setelah sosok Naru berlalu, Kakashi segera memanggil Sang pembantu yang berdiri siaga di sisi meja besarnya dengan senyuman bahagia.

"Baik, Tuan." Sang pembantu yang terlihat masih cukup belia itu hanya membungkuk sopan pada Sang tuan tanpa beranjak sedikit pun dari tempatnya. Perempuan itu memang begitu menjunjung tinggi tatakrama, duduk semeja makan dengan majikan adalah hal yang tidak sopan baginya.

"Aku sangat senang malam ini. Kau tahu kenapa? Karena putraku yang nakal itu pada akhirnya kembali ke rumah." Kakashi bertanya dan menjawab pertanyaannya sendiri seraya mengaduk spaghettinya dengan mata berbinar cerah. "Sepertinya dia sudah menyadari jika perempuan pilihannya bukanlah yang terbaik untuknya." Dan satu suapan itu masuk ke dalam mulutnya setelah ia selesai berkata.

Padahal kunyahannya belum lembut di dalam rongga mulut, pun menu makan malamnya belum sempat ia habiskan. Namun, sosok Naru kembali tertangkap pandangan matanya. Putra angkatnya itu terlihat menyeret sebuah koper besar, membuat kedua mata Kakashi menyipit menatapnya.

"Kau mau ke mana? Kenapa membawa koper begitu?"

Naru menghentikan langkah kakinya sejenak hanya untuk mendengkus kasar pada Kakashi. "Menurutmu?"

"Kau masih marah pada Ayah?"

"Baguslah kalau kau sudah sadar." Salah satu sudut bibir Naru naik, tersenyum sinis. "Daripada harus tinggal bersama 'orang tua' egois sepertimu, lebih baik aku keluar dari rumah ini."

Sontak Kakashi tertawa sarkas mendengarnya. Egonya terluka ketika putranya justru lebih memihak seorang wanita baru ketimbang dirinya yang sudah merawat pria itu semenjak masih belia.

"Aku egois? Kau sadar apa yang kau katakan, Naru? Aku melakukan itu semua karena aku peduli padamu! Karena aku menyayangimu!" lalu ia menggebrak permukaan meja, tak peduli bahwa apa yang ia lakukan membuat piring-piring berisi sajian makan malamnya jatuh berhamburan. "Tapi ... kau seakan sama sekali tidak pernah melihatnya. Jika kau masih menggapku Ayah, maka bertahanlah."

"Maka jawabanku akan tetap sama. Aku akan pergi." Ucapan Naru terdengar semakin dingin sebelum akhirnya membuang muka. Ia masih teguh pada pendiriannya. "Selamat tinggal, Kakashi."

Kiss The Pain✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang