28. bertubi-tubi

271 69 21
                                    

"Nat, tunggu! Astaga, jangan berlari! Kau harus ingat bahwa kau sedang mengandung!" Naru berteriak begitu keras ketika sosok Sang istri berhasil ia temukan di pinggir jalan, sedang melangkah tak tentu arah lengkap dengan punggungnya yang bergetar akibat tangisan.

Nyatanya pria itu berhasil. Seakan diguyur air es, kedua kaki Hinata berhenti bergerak seketika seiring matanya membola. Saking pedih rasa hatinya sampai-sampai ia sejenak terlupa bahwa ada nyawa lain yang bergantung hidup padanya.

"Syukurlah." Pria itu mendesah lega. Tak mempedulikan napasnya yang masih tersengal akibat berlarian, ia melangkah cepat menuju posisi Hinata kemudian memeluknya dari belakang. "Jangan begini lagi. Kau membuatku takut," bisiknya.

Namun, ketika lengan-lengan kekar itu menyelusup lalu melingkari perutnya, Hinata secara refleks meronta. Ingatan tentang penghinaan Kankuro terhadapnya kembali terngiang di kepala, menghantarkan rasa perih tak terdefinisi oleh kata. "Lepaskan aku, Naru!"

"Tidak mau." Kepala Naru menggeleng di sisi kepala istrinya, semakin erat pula pelukannya. Ia tidak lagi peduli pada sekitarnya, sekali pun ada seorang paparazi yang sengaja memotret mereka.

Hal yang Naru lakukan sukses membuat Hinata menyerah untuk melepaskan diri dari jeratannya, meskipun lelehan air mata itu tak berhenti mengalir membasahi kedua pipi.

"Kenapa?" tanya wanita itu dengan suara lemah dan bergetar.

"Karena aku mencintaimu. Karena kau adalah istriku, calon ibu dari anak-anakku." Naru menjawab dengan lancar, ia mengambil napas panjang tanpa melepaskan dekapan. "Jangan dengarkan omongan Kankuro, ya?"

Mendegar ucapan suaminya, kedua mata indah Hinata memejam erat. Hatinya perih sekali, sedangkan kepalanya sedang berdebat mencari keputusan yang tepat baginya. Ia bukanlah wanita egois yang akan diam saja saat pria yang paling ia cintai menanggung malu akibat asal-usulnya.

"Ceraikan aku."

Seketika kening Naru mengernyit ketika ucapan selirih tiupan angin malam terembus dari mulut Sang istri. Dan ia tertawa sumbang seraya melepaskan dekapan, lalu membalikkan tubuh wanita itu untuk saling berhadapan. "Kau ini bicara apa, huh?"

"Aku ingin berpisah darimu, apa kau tidak mendengarnya?!" Hinata berteriak di depan wajah Naru, tersengal-sengal dengan air mata berlinangan. Kedua tangannya mengepal di kedua sisi tubuhnya, menahan rasa pedih. Ia tengah meneguhkan pendiriannya. Jika memang perpisahan adalah hal yang terbaik, maka ia akan mencoba menerima kenyataan.

"Sepertinya kau mulai mengantuk makanya berbicara melantur begini," ucap Naru disertai kekehan ringan. Ia berusaha berpikir jernih dan tak terpancing emosi. Bolak-balik ia menghela napas panjang sebelum kembali bersuara. "Sebaiknya kita pulang sekarang. Udara malam tidak baik untuk kesehatanmu dan bayi kita." Setelahnya, ia merengkuh pinggang istrinya, tetapi lagi-lagi wanita itu meronta.

"Lepaskan aku! Tinggalkan aku sendiri! Benar kata pria tadi, wanita kotor dan hina sepertiku tidak sepantasnya bisa bersanding denganmu!"

"Nat, please ... jangan menguji kesabaranku." Naru kedapatan mendesah lelah, dengan kedua mata birunya yang sesaat memejam menahan amarah. Agaknya ia mulai kehilangan kesabaran. "Pernikahan bukanlah mainan! Kau tidak bisa meminta cerai seperti meminta jajan! Terlebih kau sedang hamil sekarang." Intonasi suara berat itu meninggi tanpa ia sadari, kemudian ia menarik paksa lengan Sang istri. "Ikut aku, kau harus menurut pada suamimu!"

"Apa yang pria itu ucapkan adalah benar. Temanmu itu memang seseorang yang telah membeli kesucianku, kau ... kau pasti merasa jijik padaku setelah mengetahuinya. Iya, kan?"

Perkataan Hinata berhasil membuat Naru urung menyeretnya. Punggung tegap itu berbalik, menatap mata memerah wanita itu dengan penuh perasaan. Raut penuh emosi yang tadi sempat mendominasi wajahnya, kini hilang entah ke mana.

Kiss The Pain✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang