4. Embun Tau Ia Akan Jatuh dan Menguap

23 5 0
                                    

13 Juli 2019, awalnya...

Juilan menghela nafas setelah menahannya sepersekian menit. Pemuda yang dijadwalkan mesti ia temui ternyata melampaui khayalannya. Dia tinggi, gagah, berkaki dan lengan panjang. Kekar. Wajahnya perpaduan tampan dan cantik. Rahangnya yang tegas dan garis pipinya yang khas, lekuk matanya yang dalam dan bibir merahnya yang tipis namun penuh, disempurnakan hidung mancung, apa dia dewa yunani?

. . .

Ini tidak akan jadi kencan buta di level sepadan. Jelas tidak ada harapan untuk pertemuan kedua.

"H-hai, anda Tuan Mika Airlangga?"

"Mikail Airlangga. Tapi kau bisa memanggilku Mika. Dan namamu?" Ia serta merta berdiri untuk menyalami.

"Juilan Arindia"

"Senang bertemu" Bahkan genggaman tangannya terasa hangat dan lembut padahal ia seorang pria.

"Pesananmu?"

"Samakan saja dengan anda"
Ia mengambil pesanan untuk kami. Bagaimana seorang pria bisa begitu peduli dan tanggap.

Ia tak banyak bicara melainkan menanyakan pertanyaan sederhana semisal makanan yang ku sukai, tempat yang suka ku kunjungi dan sesuatu yang sedang ku usahakan. Ku fikir dia sangat sopan karena tak menanyakan umur, jabatanku di tempat kerja, pendidikan juga latar belakang keluarga. Atau... Dia hanya tak ingin menemuiku lagi? Beberapa hal membuatku pesimis.

"Aku ingin makan di tempat yang kau katakan tadi. Bagaimana jika kita mengatur waktu untuk kesana?"

"M-maksud anda pertemuan kedua?"

"Apa tidak bisa?"

"Tentu bisa. Bagaimana jika akhir minggu ini?"

"Aku akan menjemputmu. Tolong kau tulis alamatmu" Ia memberikan ponselnya. Aku mencatat alamatku di GPS-nya.

Dia sangat tak terduga. Kelihatan acuh tak acuh untuk beberapa hal tapi peduli hal yang penting.

"Maaf, bisa anda tunggu sebentar disini?"

"Y-ya. Tak masalah" Ia pergi dan kembali tak sampai lima menit.

"Maaf, ingin ku pakaikan atau pakai sendiri?" ia menyodorkan plaster bermerk yang harganya mungkin mahal.

"Ah? Aku tidak tau apa aku-"

"Kau akan kesakitan berjalan, aku punya dua saudari, mereka selalu membawa plaster jika memakai sepatu berhak"

"Terimakasih" Pria yang canggung tapi baik hati. Dia meninggalkan kesan yang mendalam.

***

Mika melihat pendaran cahaya dari arah suara air mengalir. Sungai. Ia ingat melewati jalan setapak diatas aliran sungai, bisa saja gadis itu turun ke bawah untuk mengambil air.

Mika menerawang dengan bantuan senternya, setelah hampir ke bawah ia bisa melihat seseorang duduk menghadap api unggun. Dan dari postur juga rambut sebahunya ia tau siapa gadis itu.

"Mas Mika? Kau kah itu?" gadis itu bangkit berdiri setelah sadar akan keberadaannya.

Mika membuang nafas panjang, jantungnya yang berpacu keras butuh diistirahatkan namun sesak di dadanya tak lantas membuatnya tenang.

"Bukankah sudah ku bilang untuk tak jauh-jauh dariku? Kau itu bodoh atau sengaja menyusahkanku?" ia menumpahkan semua kemarahan, kejengkelan dan kecemasan 'tak perlu' yang gadis itu sebabkan.

Juilan mundur selangkah sambil memegangi jantungnya yang berdegup keras. Suara itu, terdengar seperti suara seseorang dari dimensi yang lain.

"Jangan jauh-jauh dariku. Kau itu agak bodoh dan menyusahkan"

Beloved My HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang