13. Kau Hari Ini, Kau di Masa Depanku

23 3 5
                                    

Sebelumnya...

Juilan membuka matanya berkat hangat sinar matahari yang membasuh wajahnya. Aroma lavender yang bukan aroma pribadinya segera membuat Juilan merasa asing.

"Ruangan ini... Bukan kamarku" gumamnya setelah memperhatikan sekelilingnya. Wallpaper monokrom, Ranjang king size, furniture, jendela besar dan pintu otomatis.

"Kamar Mas Mika?"

Juilan melompat turun memeriksa desk kalende. Matanya membola melihat lembar pertama; Agustus 2020.

'Hari pemakaman Mas Mika'

Dreettt...!
Pesan masuk untuknya. Juilan meraih ponselnya dengan jemari gemetaran.

Mbak Shara: Kami yang akan siapkan pengajian enam hari Mika, kamu hanya perlu datang. Sopir kami akan menjemputmu.

'Alurnya tak berubah. Mas Mika tetap meninggal, tak peduli apapun yang ku lakukan saat menyintas waktu. Apa akhirnya aku tetap membunuhnya?'

"Aakkkhhh....!"

***

"Ibuku pernah bilang, ia tak menyesali mencintai ayahku melainkan ketidakmampuanya mengendalikan hati saat mencintai Ayah. Awalnya ia memberi kasihnya sepenuh hati lantas lambat laun ia menginginkan balasan. Padahal cinta adalah tentang memberi bukannya menerima"

Mas Mika berbicara padaku, aku bisa mendengar suaranya dengan jelas. Juga genggaman hangat tangannya. Aku bahkan bisa merasakan hembusan nafas hangatnya menggelitik pipiku.

"Aku tak memberi apapun tapi aku meminta banyak padamu, kau jatuh sakit seperti ini karena aku"

Itu tidak benar. Justru sebaliknya. Aku tak memberi apapun, aku bahkan tak mencoba memahamimu, aku malah menyakitimu saat kau sudah punya banyak luka. Hingga kau berdarah-darah dan terpuruk sendiri, aku meninggalkanmu dengan egoisnya. Aku telah membunuhmu seperti itu tapi kau yang sekarang malah merawatku dengan penuh kasih. Untuk memaklumiku, kau menyalahkan dirimu sendiri.

Mas Mika-ku menangis dengan sepenuh hatinya. Mungkin dadanya merasa sesak seperti ditindih batu. Batu besar yang terbentuk dari tuntutan tak berguna dariku.

"Aku mencintaimu, Mas" bibirku bergetar begitu saja, saat air matanya jatuh di pipiku, sudut hatiku tergores perih.

"Jui? Kau sudah siuman?" Jernih tatapannya bagai cahaya menarikku ke dalam terang.

"Hm. Kau memanggiliku keras sekali, seperti itu aku kembali"

"Maaf, aku- aku harusnya tidak banyak bicara- hanya... Aku tak mau kehilanganmu" Ia menciumi telapak tanganku berkali. Sebelum air matanya kembali jatuh, ku hapus dengan telapak tanganku.

"Aku juga. Aku mencintaimu, Sangat. Aku minta maaf karena terus meminta padahal aku sendiri tak memberikan cintaku sepenuh hati"

Mas Mika menggeleng, ia meraih tanganku yang ku gunakan untuk menyeka air matanya lantas ia kembali mengecupnya.

"Tidak, aku yang salah. Maaf, aku bodoh dan tak berpengalaman"

"Tentu, kau hanya pernah mencintai cinta pertamamu, bukan?"

"Karena kita membicarakannya... Percaya atau tidak tapi kaulah gadis itu"

"Aku?" tatapanku menelisik mencari dusta di matanya.

Tak ada.

"Ya. Kau. Cinta pertama yang selama ini ku cari, ternyata itu kau, Sayang" katanya kembali berurai air mata namun kali ini dibarengi seulas senyum. Senyum tersipu khas Mas Mika.

Beloved My HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang