5. Deja Vu

24 4 0
                                    

Harusnya... Aku lekas bangun dari mimpi indah yang palsu ini. Tapi senyumannya yang membutakan penalaranku,

dan hatiku yang bagai pendulum terus jatuh dan memantul padanya,

aku tak bisa apa-apa selain terus mengikuti langkahnya.

Seperti ngengat dan nyala api.

***

"Kau siap?"

"Hm"

Aku tau ini gila. Aku menikahi suami masa depanku. Kami yang lebih muda, ceroboh dan spontan mengawali pernikahan ini dengan perjanjian pranikah yang absurd.

Kedua orang tuaku yang menimbang semuanya untuk masa depan tentu mudah diyakinkan hanya dengan melihat penampilan Mas Mika, mobil mewah yang ia kendarai dan janji manis yang ia tebarkan dengan mulut madunya itu.

Lantas saat ayah bertanya apa aku menyukai pria berstelan hitam itu, aku hanya mengangguk dengan wajah tertunduk.

Aku tak bisa menolaknya, meski aku ingat perlakuannya di masa depan. Mas Mika yang sekarang walau serba kekurangan, entah mengapa aku lebih mudah mempercayainya.

Upacara pernikahan digelar sederhana hanya mengundang kerabat dan teman. Keluarga konglomerat memang tak main-main, ada sekitar 200 tamu undangan yang katanya sudah diringkas sepentingnya saja itu. Dari pihakku hanya mengundang kerabat terdekat kurang dari 50 undangan dan Loli yang merupakan sahabatku.

Malam terakhir sebagai lajang diisi dengan mendengarkan petuah para tetua dari dua pihak keluarga. Ibu menangis semalaman tak rela melepas putrinya yang masih belia menikah. Aku meyakinkan ibu bahwa semuanya masih sama, aku masih putrinya.

Mas Mika masih punya eyang putri dari pihak ayah, kecantikan tidak lenyap sepenuhnya meski beliau sudah menginjak usia 90 tahun. Eyang Putri memelukku dengan hangat sambil membisikkan kata terimakasih berulang kali. Membuat aku bertanya-tanya apa Mas Mika lebih kacau dari perkiraanku.

"Dia hanya... Manja. Seperti bayi besar yang menyebalkan. Dik, tahanlah beberapa tahun mungkin Mika akan lebih dewasa seiring berjalan waktu" Kata Sepupu Mas Mika, Alira, usianya sebaya dengan Mas Jibril.

"Putraku menyukaimu maka kami akan membuka hati untuk menyukaimu juga" Ayah mertua juga mengunjungiku beberapa jam sebelum akad nikah.

"Maaf, Tuan, boleh saya bertanya sesuatu?" aku tak bisa menutupi rasa penasaranku akan sesuatu, aku ingat beliau sangat pemilih dalam menerima menantu.

"Tanyalah,"

"Uhm... Kenapa Tuan tetap menerima saya meski saya datang dari keluarga menengah kebawah? Saya dengar Mas Mika bahkan mendapat surat lamaran dari beberapa keluarga strata atas" Aku harap beliau akan jujur, aku akan menerima jawaban apapun.

"Karena seperti yang ku katakan sebelumnya; Putraku menyukaimu. Tak ada yang lebih baik dari menyukai wanita baik dengan kepribadian baik" Air mataku menetes entah bagaimana, tak terkira jawaban beliau akan seindah itu.

Jalanku, apa mungkin akan seindah ini? Seolah Tuhan menaburkan bunga diatas karpet merah, jalan yang ku jejaki seindah taman dan seterang langit pagi.

.

Mas Mika nampak gugup tapi lancar mengucap akad, itu yang ku dengar dari Ibu ketika memberitahuku bahwa aku telah resmi menjadi istri dari Mikail Airlangga.

Hanya orang tua dan kerabat perempuan yang bisa menemuiku seolah hanya Mas Mika pria yang berhak melihatku dengan balutan gaun pengantin.

Mereka menempatkanku di kamar Mas Mika yang disulap indah menjadi kamar pengantin. Ranjang luas beralas kelopak mawar dengan kelambu putih berhias jalinan bunga. Aroma lilin wangi yang mengitari ruangan tak lantas membuat hatiku tenang.

Beloved My HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang