Chapter 18| Marah

4 3 0
                                    

Adel dan Aurel sedang membeli pensil di pinggiran kota, sejak ada pedagang kaki lima yang berjualan disitu, Adel jadi lebih bisa menghemat tenaganya untuk tidak berjalan lebih jauh lagi. Kebetulan Papa tidak bisa menjemput Adel, begitu pula dengan Mama Aurel yang katanya sibuk, dua gadis itu terpaksa berjalan kaki hingga sampai ke rumah.

Kalau Aurel sih fine-fine saja, lumayan bisa tebar pesona dengan para cowok ganteng yang sedang melintas. Berbeda dengan Adel, gadis tersebut kini terlihat sangat lesu dengan keringat mengucur di pelipisnya.

"Kita istirahat dulu yuk, Rel. Gue capek banget dari tadi jalan nggak berhenti sama sekali," ajak Adel kemudian duduk begitu saja di pinggir jalan. Jika kalian punya teman atau saudara seperti Adel, maka kalian harus siap fisik serta bathin jika menghadapinya. Seandainya Aurel bukan orang yang seperti itu, mungkin Aurel akan mendorong Adel agar tertabrak kendaraan yang sedang melintas dengan lajunya di jalan raya itu.

Aurel mengelap peluh di dahinya lalu mengatakan, "Ya ampun, kita baru aja jalan lima menit masa lo udah capek aja, sih? Huu lemah!"

Adel menyatukan kedua alisnya, lalu mendongak menatap Aurel di atasnya. "Bantu gue berdiri!" perintah Adel kepada Aurel.

"Kok sekarang malah lo sih yang sewot?" Aurel ikut sebal. Terlepas dari itu semua, Aurel tetap membantu Adel untuk berdiri.

"Gimana sih, Del. Nanti kalau lo duduk di situ terus ketabrak, gimana? Pasti gue yang bakal diomelin Nyokap lo," sungut Aurel sambil menyelipkan rambutnya yang menggerai di belakang telinganya.

"Hm. Bener juga," kata Adel mengalah.

"Ya gue emang selalu bener! Emangnya lo, lo selalu salah, kan." Aurel menarik kedua ujung bibirnya dengan angkuh.

"Pulang yuk, Rel. Gue males banget dengerin ocehan lo yang gak bermutu sama sekali itu," kata Adel kemudian menguap. Akhir-akhir ini Adel memang selalu tidur larut malam karena maraton nonton anime. Bahkan Adel mampu menamatkan satu season anime dalam waktu semalaman. Lihat saja, mata Adel sudah berkantung sekarang ini.

"Lo tuh nyebelin banget, sih!!" Aurel menghentakkan kakinya berulang kali di tanah, sehingga pasirnya beterbangan dan membuat Adel batuk-batuk.

"Makanya, ayo pulang."

Karena merasa bersalah kepada Adel, Aurel lantas mengiyakan ajakan sahabatnya itu. Bagaimanapun sifat Adel, Aurel akan selalu ada bersamanya. Adel sangat berharga bagi Aurel, tidak peduli akan kekurangan sahabatnya yang satu itu. Aurel tetap menyayangi Adel seperti layaknya adik kandungnya sendiri.

Ketika melewati lampu merah, Adel mendadak menghentikan langkahnya. Karena Adel berhenti Aurel pun ikut menghentikan langkahnya.

"Kok berhenti? Lo kenapa, Del?" tanya Aurel keheranan.

"Tuh liat, lampunya merah," kata Adel lalu menunjuk lampu yang sedang berwarna merah dengan telunjuknya.

Aurel menepuk dahinya pelan, heran dengan sikap Adel yang kelewat luar biasa.
"Sekarang kita jalan pakai apa?" tanya Aurel ogah-ogahan.

"Pakai kaki, lah! Aurel gimana sih," jawab Adel kemudian tersenyum miring.

"Nah itu lo tau. Kalau pakai kaki, ya gak usah berhenti, dodol," kata Aurel marah-marah.

Adel geleng-geleng kepala sambil berkacak pinggang. "Sekarang gue mau nanya sama lo, sepeda motor dan mobil bisa berjalan nggak?"

"Ya bisa, lah!" jawab Aurel dengan nada tinggi.

"Kaki manusia bisa dibuat berjalan, kan?"

"Ya bisa juga, lah!"

Adel mengangguk kemudian menepuk pipi kanan Aurel dua kali dengan pelan.

"Kan sama-sama bisa dibuat jalan, maka dari itu kita harus mematuhi peraturan lalu lintas, Aurel," sahut Adel santai. Dilihat dari gayanya berbicara saja Adel terlihat sangat percaya diri. Kalau begini, Aurel jadi tidak tega untuk memecah belah ke-optimisan sahabatnya itu.

"Oke, kita tunggu lampunya sampai berubah jadi warna hijau," kata Aurel pasrah.

Akhirnya Aurel tetap mengikuti keinginan Adel untuk menunggu sampai lampu merah berwarna menjadi hijau, walau sejujurnya agak risih juga dilihat dengan orang yang juga berhenti di sana.

***

Adel akhirnya sampai di rumah, Aurel memutuskan untuk langsung pulang ke rumah saja karena takut membuat kedua orangtuanya khawatir.

"Assalamualaikum, Adel pulang!!" seru Adel kemudian mendorong pintu rumahnya.

Mama menyahut dari arah ruang televisi, "Waalaikumussalam, Del!"

Adel mendaratkan pantatnya tepat di sofa di sebelah Mamanya. Adel memejamkan matanya sesaat untuk menghilangkan penat.

"Gimana sekolahnya? Lancar?" tanya Mama sambil mengelusi puncak kepala Adel.

"Lancar apanya, Ma?" tanya Adel lalu melepaskan tas punggung yang dipakainya. Tas milik Adel ini juga cukup bersejarah, Adel tidak pernah mengganti tasnya itu sedari kelas empat SD. Padahal Papa sudah bersikeras dan menegur Adel untuk mengganti tasnya itu, karena sudah banyak yang berlubang.

"Sekolahnya."

"Emang selama ini di sekolah Adel ada masalah gitu, ya?" Jawaban Adel semakin membingungkan, sehingga, membuat kepala Mama pening seketika dan malas untuk melontarkan kata-kata kembali dari mulutnya.

Aarav datang dari balik pintu kamarnya kemudian berlari menghampiri Mama dan Adel. Tapi, kejadian memalukan pun terjadi, sarung hitam yang dipakai Aarav pun melorot ketika bocah tersebut sedang berlari. Untung Aarav masih memakai celana yang lain. Jika tidak, hilang sudah harga diri dan martabat Aarav di depan dua perempuan di depannya.

Mama dan Adel memalingkan wajah sesaat kemudian berusaha menahan tawanya yang hampir lepas. Mereka berdua sengaja membekap mulutnya dengan erat agar Aarav tidak jadi semakin malu.

Aarav segera memungut sarungnya yang jatuh di lantai dengan muka merah padam karena menahan malu. Setelah selesai, bocah tersebut pun berjalan dengan sesantai mungkin menghampiri Mama dan Adel.

"U-ud... HAHAHAHAHAHA!!!" Belum selesai menyelesaikan kalimatnya, Adel ngakak duluan. Adel sudah tak sanggup menahan tawanya lagi.

"Wedus nyebelin bangeeeeeet! Aarav sebeeeeeel sama Wedus pokoknya!"  kata Aarav kemudian melotot tajam ke arah Adel sambil menggerakkan bibirnya ke kanan dan ke kiri. Starterpack bocah SD jaman sekarang, gak berani main fisik, tapi beraninya main muka. Uwaw! Muka.

Mama geleng-geleng. "Kamu juga sih, Rav. Pakai sarung tuh yang bener gitu, loh. Kalau sampai dilihat orang lain, gimana?"

"Lihat ya tinggal lihat aja, Ma," sahut Aarav santai. Aarav memang sulit sekali ditebak.

Mama menyentil hidung Aarav yang mancung itu sambil cemberut. "Kalau ngomong suka nggak di filter kamu tuh."

Aarav nyengir lebar.

Adel lalu bangkit dari sofa sambil meregangkan ototnya. "Adel ganti baju dulu, Ma. Kalau butuh apa-apa Mama tinggal panggil Adel aja. Adel capek, mau nyantai sambil marathon anime Kimetsu No Yaiba dulu."

Aarav menganga lebar. Tumben sekali kakaknya itu normal, Aarav jadi lebih lega sekarang.

"Iya, sayang. Nanti kalau Mama butuh bantuan pasti Mama bakal manggil kamu. Gak mungkin juga Mama manggil bocah ini nih," kata Mama sambil melirik Aarav.

Aarav mendengus kemudian berkata pelan, "Cowok emang selalu salah di mata cewek."

Keluarga Salah ServerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang