Chapter 17| TV Baru

7 5 0
                                    

Tepatnya sore hari setelah semua pekerjaan rumah selesai, Papa mengajak istri serta anak-anaknya untuk keliling kota sambil mampir membeli televisi baru. Walaupun keluarga Adel terbilang cukup mampu, tetapi barang dalam rumah mereka masih banyak yang kuno dan usang. Meski begitu, mereka berempat tetap nyaman dan terus memakainya sampai barang itu sendiri rusak.

Ketika Adel turun dari tangga dengan memakai cardigan ungunya, Papa dan Mama langsung bersorak, "Cantik banget, udah lama kamu gak pakai cardiganmu yang itu, Del," kata Papa kemudian menyenggol sikut Mama.

"Entah kenapa, kamu kalau pake cardigan tuh cantiknya nambah. Jadinya hal yang lain-lain bisa tertutup rapat deh," sahut Mama kemudian menatap Adel dari atas sampai bawah.

Aarav muncul dari balik pintu kamarnya, bocah itu memakai kemeja biru dipadu dengan celana jeans berwarna coklat. Entah disengaja atau tidak, style Mama dan Papa sama seperti yang dipakai Aarav. Mama kesannya terlihat Mama muda tomboy digeboy kalau pakai style seperti itu. Cuma bedanya, kemeja Mama lengan panjang.

"Kok sama kayak gini sih, ganti-ganti! Aarav atau Mama dan Papa yang ganti?" Baru saja keluar kamar, sudah marah-marah lagi. Memang Aarav! Bocah kok sukanya cepet tua. Marah-marah menyebabkan pengkerutan wajah, kan? Coba hitung, jika Aarav marah-marah setiap hari, pasti dia akan kelihatan tua sebelum waktunya.

Papa menjitak kepala Aarav pelan. "Ganti mbahmu aja sana! Kita udah telat banget ini gara-gara nungguin kamu sama kakakmu dandan dari tadi gak kelar-kelar. Gayanya udah kayak seleb aja," kata Papa mencibir.

Aarav meringis, "Sakit, Pa. Papa tega banget, berdosa banget, aku... Aku tuh kesakitan." Aarav alay lagi.

Mama geleng-geleng kepala. "Gak papa, kalau couple-an gini kan kesannya kayak keluarga harmonis gitu. Ya nggak, Pa?" tanya Mama sambil mengeringkan matanya ke arah Papa.

Papa hanya tersenyum kecil lalu mengangguk. "Udah-udah. Ayo berangkat, ntar keburu kemaleman loh."

"Nanti kalau malem, dipanggil hewan kelayapan," sahut Adel dengan santainya sambil bersender di tembok.

Aarav menendang pelan kaki kanan Adel yang dibalut celana hitam. "Apa hubungannya, Wedus? Masih sore ini, lo jangan bikin gue emosi terus-terusan!"

Mama dan Papa masih nyimak.

"Kalau gak sore jadi boleh buat Aarav emosi?"

"Ya gak boleh!" Aarav mulai ketus.

"Kapan selesainya? Dua menit lagi, Papa tungguin debatnya sampai kelar," kata Papa kemudian mengecek jam tangannya.

Mama menepuk jidatnya. Ia heran dengan semua makhluk yang tinggal di rumah ini, mengapa semuanya memiliki keistimewaan masing-masing? Cuma Mama yang normal. Gak normal bukan berarti gila, hanya saja kurang sadar. Kurang sadar juga, bukan berarti pingsan atau hilang kesadaran. Hilang kesadaran pun dapat diartikan menurut perspektif masing-masing, bukan berarti gila.

"Mama putusin, kita nggak jadi keluar. Mama udah pesan televisi baru buat kita. No debat. Kalau ada yang gak terima, silahkan diam aja," celetuk Mama lantang.

Papa, Adel, dan Aarav kompak cemberut. Hanya gara-gara Adel bertanya satu pertanyaan yang gak masuk akal, jadi batal semuanya. Aarav pun sama, sudah tahu kakaknya seperti itu, malah dipanjangkan sampai melebar jadi perut. Gak ada hubungannya, sih.

"Yahh, Mama! Kok gitu sih, Ma? Padahal Aarav udah bikin list barang yang mau dibeli," ujar Aarav kemudian berjalan sempoyongan menuju Sofa. Matanya ia pejamkan sesaat untuk menerima segala kenyataan yang terjadi pada hari ini.

Aarav sangat bersemangat ketika mengetahui akan diajak oleh Mama dan Papanya jalan-jalan sekaligus membeli TV baru. Bocah tersebut dengan semangat langsung memikirkan barang apa saja yang ingin ia beli ketika jalan-jalan. Namun, pupus sudah keinginannya sekarang untuk membeli robot Transformers dan Play Station tiga.

Keluarga Salah ServerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang