KEMATIAN

15 6 17
                                    


》》》


20 tahun kemudian

Sinar mentari malu-malu menerobos setiap celah di ruangan ini. Seorang wanita muda tampak menggeliat dengan raut kesal. Ya, tidurnya sudah terganggu.

Dengan langkah pelan ia menuju pintu seraya mengusap mata yang sedikit terbuka. Tangan mungilnya meraih kain putih yang akan melengkapi mandi paginya.

Tidak butuh waktu lama, ia kembali lagi dengan tampilan yang sudah rapi. Menatap cermin, merapikan anak rambutnya. Seketika ia tersenyum menambah keanggunan makhluk ciptaan Tuhan itu.

Mata nan biru yang ia miliki menatap ponsel yang sedari tadi bergetar. Terpampang nama Gea memanggil di seberang sana. Ia buru-buru meninggalkan kamar, rumah serta sarapannya.

Tidak butuh waktu lama, orang yang dicari-cari sudah berada di depannya. Raut wajah yang ditunjukkan tampak tidak bersahabat.

Gea mendekat mulai meluapkan emosinya, “Sesya, hari ini aku akan ditraktir olehmu.”

Wanita bernama Sesya itu menautkan kedua alis, biasanya Gea selalu membesar-besarkan masalah. Tapi kali ini berbeda, ia hanya meminta traktiran sebagai hukuman.

Sesya mengembangkan senyumnya seraya berkata, “Of course.”

Mereka menikmati hari ini dengan liburan yang hanya dirasakan satu minggu sekali. Tanpa sadar, ternyata sudah memasuki sore.

Kedua wanita muda itu menikmati es krim di sepanjang jalan. Tawanya terhenti di kala Gea menghentikan langkah mereka. Bayangan itu muncul lagi saat temannya menyentuh lengan kiri miliknya.

Gea melangkahkan kakinya dengan semangat hendak menyeberangi jalan. Sasaran utamanya ialah tokoh buku di seberang sana.

Gea tidak menyadari sebuah truk melaju dengan kecepatan tinggi ke arahnya. Tubuh wanita itu terbanting dan terhempas begitu saja ke jalan.

Sekerumunan orang-orang memadati lalu lintas. Semua pelanggan di sebuah tokoh buku ikut serta di jalanan.

Wanita muda itu, tergeletak sadis di jalan yang telah berlinang darah. Semua sisi tubuh bagian kepala dipenuhi warna merah kental itu. Dapat dipastikan maut telah menjeputnya.》

“Sesya...,” bentak Gea.

Sesya tersadar dengan dunia nyata. Ia tampak gelisah dengan gambaran kematian sahabatnya yang teramat mengerikan.

“Apa yang sedang kamu pikirkan?” tanya Gea penasaran.

Sesya menggeleng cepat, tidak mungkin ia akan memberi tahu kejadian yang baru saja dilihatnya. Gea akan tertawa karena tidak percaya. Ia pernah menceritakan kutukan itu pada ibunya tapi malah dianggap gila.

“Bagaimana kalau kita ke tokoh buku?” tanya Gea.

Deg

“Tidak!” tolak Sesya cepat.

Belum sempat Gea melemparkan perkataannya, deringan telepon Sesya menghentikan keduanya.

“Halo,” sapa Sesya.

“.....”

“Saya akan segera pulang, tolong jaga Ibu saya.” Buru-buru Sesya memutuskan sambungan tersebut.

“Kita pulang sekarang, Ibu membutuhkanku, Ge,” kata Sesya.

“Jangan ke tokoh buku tanpa aku, kita pisah di sini saja,” ucapan terakhir Sesya sebelum benar-benar pergi.

^^^^

Sesya menatap wanita yang lebih tua darinya sedang terbaring di tempat peraduan. Ini bukan yang pertama kalinya, orang yang kerap dipanggil ibu itu selalu saja membuat ulah.

Wanita malam, Sesya sangat benci kata tersebut. Sudah berulang kali ia melarang ibunya ke tempat menjijikkan itu, namun semakin dilakukannya.

Sesya bekerja untuk kebutuhannya sendiri. Ia tidak mau hidup dengan uang haram yang dihasilkan ibunya.

Lamunan Sesya dihentikan oleh deringan ponselnya. Gea, lagi-lagi wanita itu yang meneleponnya.

“Halo, aku minta maaf! Kita akan pergi besok ak—“

Suara di seberang sana memotong perkataannya. Seketika ponsel yang digenggam itu terjatuh begitu saja.

“Tidak,” lirihnya seraya menggeleng.

Dengan mata yang bercucuran, Sesya  meninggalkan rumah. Pikirannya kacau benar-benar kacau.

^^^^^

Langit mengiringi air yang akan segera turun. Mendung belum meneteskan apa pun. Sesya terduduk di tanah lembab yang di depannya terdapat gundukan tanah bertaburan bunga. Ia meremas pijakan tanah yang ditekan oleh tangannya.

Air yang sedari tadi hendak turun perlahan menyerbu bumi, apa pun yang ada di bawahnya. Sesya menjerit mengiringi bunyi air hujan.

“Ini semua salahku, aku telah membunuhnya,” lirih Sesya di sela hujan.

“Itu semua karena kutukan itu, aku seharusnya terlahir sebagai manusia normal, a-ku benci ini semua,” jeritnya terisak.

Sesya terus menyalahkan diri sendiri. Ia bisa saja menghentikan sahabatnya itu, tapi ini malah terjadi. Seumur hidup, Sesya tidak memedulikan apa yang bisa dilihat. Ia tersiksa menyaksikan kejadian-kejadian itu.

“Maafkan aku Gea,” lirihnya mengusap lembut papan putih yang basah tersebut.

Sesya bangkit dan mulai berjalan tak kuasa. Ia tak memedulikan jalan hingga menumbuk sesuatu yang keras.













Bersambung





》》》》》》》》》》》》》》》》》》

Yuhuuuu, Lia kembali lagi!
Ayo bagaimana?

Apa yang menghentikan langkah Sesya?
Jika mau tahu, ikuti terus alurnya ya all

Note: Kata yang dimiringkan merupakan bayangan yang dilihat oleh pemeran utama, Sesya Metalica.

《Tekan bintang di pojok kiri bawah dan koment ya》

》》》》》》》》》》

17 November 2020
Aprilia

Memory as a curse (HIATUS) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang