-7- Arta adalah Halusinasi?

13 6 0
                                    

"Hey Arta kau tahu tidak kalau dirimu selalu mengingatkanku pada Rain."

Nira untuk Arta

***

Siang itu langit yang semula biru perlahan ditutupi awan membuat cuaca menjadi tidak begitu panas. Siang itu juga seorang lelaki dengan cepat bergegas menuju ke arah halte dekat sekolah.

Lelaki tersebut adalah Arta.

Arta segera menghampiri Nira saat melihatnya masih berada di halte. Ia berdiri di samping Nira kemudian berdehem memberikan kode.

"Lo ngapain? ini halte dan lo bawa motor." Tanpa basa – basi Nira langsung berkata dengan nada ketusnya seperti biasa.

"Atau jangan - jangan lo mau pamer motor ke orang yang naik angkot kayak gue," tuduh Nira yang membuat Arta tertawa.

"Lo itu bener – bener lucu ya." Arta menatap gadis di hadapannya, ia masih tidak menyangka ternyata Nira menyimpan banyak rahasia masa lalunya.

"Jadi boleh gak gue duduk sini?" tanya Arta berusaha seolah – olah tidak terjadi apa - apa .

Nira memincingkan matanya, "Kalo gue yang buat nih halte sih gak boleh, tapi karena ini fasilitas umum ya terserah."

Arta tersenyum senang kemudian duduk di samping Nira. Arta memberikan jarak yang lumayan jauh karena ia tahu pasti dirinya akan diprotes kalau terlalu dekat.

"Gue dengar tadi lo ada masalah sama senior," ucap Arta berusaha memulai obrolan.

"Intinya gak ada hubungannya dengan lo."

"Serius?"

"Ya serius itu karena keinginan gue sendiri," jawab Nira.

Alasan Nira pergi tadi adalah karena dirinya ingin menyadarkan orang – orang seperti tadi. Ia ingin menyadarkan bahwa banyak sekali hal yang berharga dalam kehidupannya, bukan hanya soal cinta yang dikejarnya. Salah satu contoh hal kecil adalah memiliki keluarga yang lengkap. Hal yang sudah tidak dimilikki Nira lagi.

Arta mengernyitkan keningnya tidak mengerti dengan perkataan Nira barusan, "Maksudnya?"

Nira menghela napas malas menjelaskan, "Gak jadi."

"Pulang bareng?"

"Gak," jawab Nira masih dengan kata yang sama.

Di sela – sela pembicaraan, tiba – tiba ada seseorang yang menghampiri mereka berdua, dengan pakaiannya yang compang – camping juga rambut yang acak – acakan.

Tanpa disangka Nira beranjak dari duduknya lalu mendekati orang tersebut. Nira mengambil sebungkus roti dari dalam tas lalu memberikannya sambil tersenyum tipis.

"Apa liat - liat?" tanya Nira galak saat ia kembali duduk di halte, "mereka bukan 'orang gila' ya jahat sekali disebut seperti itu."

Dalam hati Arta membenarkan perkataan Nira, "Emm sebenernya itu bukan salah mereka sepenuhnya, kebanyakan ngalamin peristiwa traumatis."

Nira mengernyitkan keningnya, "Kok lo bisa tau?"

"Ibu gue psikolog," jawab Arta.

"Yah ... setidaknya mereka lebih bahagia dengan imajinasi mereka, dibandingin dengan harus menghadapi kenyataan."

Nira diam sejenak memikirkan masa lalunya, "Tapi sekalipun begitu mereka tetap harus disembuhkan juga."

Hening. Arta menyadari baru kali ini Nira bercerita.

Perlahan hujan turun mulai membasahi bumi, meskipun tidak begitu deras. Suara hujan yang berbunyi tik – tik perlahan masuk melalui telinga Nira. Perasaanya menjadi  tidak enak seperti ada rasa gelisah dan tidak nyaman yang mulai menjalar di hatinya.

RANNIA : MY LOVELY FRIENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang