-17- Pamit

1 0 0
                                    

"Waktu itu relatif. Ia akan berjalan cepat untuk hal - hal yang kau sukai. Namun, akan berjalan sangat lambat pada hal - hal yang tidak kau sukai. Terdengar menyedihkan ya?" - Nira

***

Suasana malam di luar rumah tidak begitu ramai, seskali terlihat lampu sorot mobil juga bunyi motor yang lewat. Wajar saja karena Nira tinggal di perumahan membuat jalanan tidak seramai dibandingkan ia harus tinggal tepat di depan jalan raya.

Hening.

Di sana Rain sedang berdiri memandang rumah lamanya, sorot matanya tersirat luka.

Nira yang melihatnya membuka suaranya membuat Rain menoleh, "Rumah itu sudah lama sekali kosong yaa ....".

"Dulu waktu aku lewat aku sering ngira kamu masih disitu. Bahkan aku sempat ngetuk pintu rumah kamu padahal udah jelas gak ada orangnya." Nira tertawa kecil entah karena kejadian itu benar – benar lucu atau sebaliknya.

"Rumahmu sekarang?" tanya Rain.

"Dikontrakkan untuk nambah biaya ibuku di rumah sakit." Nira melangkahkan kakinya berdiri tepat disamping Rain.

"Mungkin kamu belum tahu Ibuku sudah meninggal sekitar setahun yang lalu."

"Ta-tapi jangan khawatir ibuku pasti udah tenang," tambah Nira sambil berusaha tersenyum.

"Aku turut berduka," ucap Rain pelan, ia tidak menambahkan kata apapun lagi takut menyinggung perasaan Nira.

Hening kembali menguasai. Tidak ada pembicaraan. Hanya angin malam yang berhembus di antara mereka berdua.

Nira menarik napas dalam lalu menanyakan sesuatu yang sedari tadi mengganggu pikirannya, "Rain kamu bakalan pergi lagi?"

Rain mengangguk pelan tanpa melihat ke arah Nira, "Besok pagi aku bakalan ke luar negeri di rumah sakitku lalu."

"Jadi ini yang terakhir?" tanya Nira suaranya terdengar getir.

"Setelah operasinya selesai aku akan kembali."

"Mana janjinya?"

Akhirnya Rain memberanikan diri menatap Vla. Mata mereka bertemu. Ia tahu gadis itu sangat sedih, tetapi berusaha disembunyikannya sebaik mungkin.

"Janji," ucap Rain dengan yakin tetapi Nira masih diam seolah tidak ingin sahabatnya pergi lagi.

Rain mencoba menghibur Nira sedikit, "Setelah sembuh nanti aku akan meminta ibu dah ayah untuk tinggal di sini lagi."

"Beneran?" Nira tersenyum mendengarnya.

"Iya."

"Kamu juga janji untuk selalu jaga dirimu...," ucap Rain dengan sorot matanya yang teduh.

"Rain ...," lirih Nira. Ia menunduk menatap alas kakinya.

Nira menggigit bibir bawahnya. Dalam hatinya ia sangat mengkhawatirkan Rain. Ia cemas bagaimana hasil operasi Rain nanti.

Kenapa secepat ini? batin Nira.

Baru saja dirinya bertemu Rain setelah tiga tahun lamanya dan sekarang hanya terbayar dengan tiga hari.

Nira menarik napas dalam lalu mendongkakan kepalanya. Ia mengukir senyuman sebahagia mungkin di wajahnya.

"Aku akan nunggu kamu kembali!" seru Nira, semua pikiran buruk di tepisnya jauh – jauh, "sampai kapanpun!"

Rain menepuk kepala Nira pelan, "Kamu tidak pernah berubah ya ..."

Setelah itu tidak ada pembicaraan lagi. Mereka hanya menatap langit malam. Detik dan menit yang berlalu merupakan saat – saat berharga untuk mereka berdua. Tidak perlu membahas banyak hal, keberadaan Rain di samping Nira sekarang sudah lebih dari cukup.

RANNIA : MY LOVELY FRIENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang