-12- Sebuah Alasan

6 3 0
                                    

Mulai chapter ini aku akan mengganti nama Iyan menjadi Rain. Supaya lebih sreg.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

"Ternyata kebetulan itu memang benar adanya." Nira – Arta – Rain

***

"Iyan tunggu!" panggil Arta berusaha menghampiri sahabatnya yang tidak lain adalah Rain.

Rain menatap Arta singkat, lalu memberikan sebagian buku yang dibawanya,

"Ini bagian lo."

"Ini bukan soal buku! kita harus bicara."

Rain tidak menjawab hanya menaikkan alisnya tanda tidak mengerti.

"Soal Nira," tambah Arta.

Rain menghela napas pelan mendengarnya, kemudian mengangguk sekilas.

Rain teringat pertama kali dirinya mengetahui Arta dekat dengan Nira, yaitu saat aksi Tama yang berteriak dari lantai dua mengatakan bahwa Arta sedang dekat dengan seorang cewek. Namun, siapa sangka kalau orang itu adalah Nira sahabat lamanya juga.

Setelah kejadian itu, hati Rain menjadi sedikit lebih tenang. Ia tidak pernah sedih melihat Nira dekat dengan Arta, justru sebaliknya dirinya bahagia akan hal itu.

Kenapa? Sebab dirinya memiliki alasan tersendiri yang tidak diketahui banyak orang. Alasan yang sama kenapa ia harus pindah rumah dan berpisah dengan Nira waktu itu.

Begitu sampai di halaman belakang sekolah, Arta langsung menyampaikan apa yang ia ingin sampaikan.

"Gue denger pembicaraan lo tadi," ujar Arta tanpa basa – basi, "Lo itu dicari Nira selama ini."

"Gue tau," jawab Rain singkat.

"Terus apa yang lo lakuin tadi?" tanya Arta tidak habis pikir dengan tindakan sahabatnya.

"Apa yang lo lakuin selama ini? Lo tau kan gue temenan sama Nira? Kenapa lo gak pernah ngomong ke gue?"

Rain tidak menjawab malah membalikkan pertanyaan pada Arta,"Buat apa juga?"

"Lo tanya buat apa?" Arta menaikkan volume suaranya menekan setiap kata yang ia ucapkan. "Nira itu nyariin lo Yan, hampir setiap hari dia mikirin lo."

"Terus hubungannya dengan gue?" tanya Rain lagi membuat Arta mengepalkan tangannya erat.

"Yan lo tanya ke gue? Lo mau tanya ke semua orang pun jelas ini ada hubungannya dengan lo."

"Gue gak peduli dengan masa lalu," tukas Rain tegas.

Belum sempat Arta membantah, Rain sudah menimpali kembali, "Lagian Nira udah punya banyak teman sekarang.

"Termasuk lo kan?" sambung Rain.

Arta memukul tembok yang ada di hadapannya lalu menarik kerah seragam Rain. Emosinya meluap – luap. Ia tidak mengerti bagaimana bisa hal ini terjadi pada kehidupan Nira juga sahabatnya.

"Lo mau pukul atau bilang gue pengecut silahkan," ujar Rain tenang.

"Jernihkan pikiran lo." Arta membuang napas kasar lalu pergi meninggalkan Rain.

Rain melihat punggung Arta yang semakin menjauh, perlahan rasa bersalah menjalar di hatinya.

Ada suatu alasan yang tidak bisa ia katakan. Semua yang diucapkannya pada Nira juga Arta sangat berkebalikan dengan hatinya. Seolah ia berpikir apa yang dilakukannya sudah benar, tetapi hatinya mengatakan itu salah besar.

Rain segera mengambil ponselnya mencari nama kontak Arta dan mengirimnya pesan. Mungkin kali ini dia tidak akan mengandalkan dirinya sendiri lagi dalam menyelesaikan masalahnya.

Rain

Sebentar pulang sekolah ada yang mau gue omongin

Bilangin ke guru gue izin

Mau di tulis bolos terserah

Rain mengalihkan pandangan dari ponselnya. Ia menatap katup pada lengannya yang harus dipasangkan selang setiap seminggu sekali.

Maafin gue Nir ... batin Rain.

***

Bel pulang akhirnya berbunyi.

Dengan cepat Arta menuruni anak tangga lalu menuju ke halaman belakang. Saat melihat Rain yang masih duduk di bangku belakang sekolah, tanpa basa – basi Arta segera menemuinya.

"Alasan gue gak ketemu Nira karena gue belum sembuh total," jelas Rain langsung pada intinya ketika Arta sampai di hadapannya.

Arta terdiam mendengarnya. Ia sebenarnya tahu mengenai fisik Rain yang tidak kuat lagi karena penyakit gagal ginjal akut yang di deritanya sejak lama. Hal itu juga yang membuat Rain tidak bisa bermain basket lebih lama di tim mereka.

Rain mendongakkan kepalanya, "Lo sendiri tau kan sebentar lagi gue harus operasi."

"Tapi yang lo lakuin ke Nira itu salah Yan," balas Arta cepat.

"Terus gue harus gimana?"

"Temuin Nira jelaskan baik – baik."

"Gue gak bis--"

Arta langsung memotong perkataan Rain, "Kalo lo ngindarin Nira sama saja lo lari dari kenyataan dan lo tau kan mau siapapun itu gak bisa lari kenyataan."

"Maaf gue tetap gak bisa." Rain beranjak dari duduknya bergegas untuk pulang. "Mulai sekarang tolong jaga Nira."

"Gue gak tau hubungan lo dengan Nira sedekat apa," ujar Arta membuat langkah Rain terhenti.

"Gue hanya mau bilang Ibunya sekarang udah meninggal. Dan sekarang gue gak mau Nira punya beban pikiran lagi."

"Ibu Nira?" Rain menoleh kebelakang memastikan pendengarannya.

"Ya sudah meninggal lo tau kan artinya apa? Nira udah gak punya kedua orang tua lagi."

Rain tertegun mendengarnya. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana hancurnya perasaan Nira saat ini. Ditambah kehadiran Ibu Nira yang sangat berarti bagi dirinya juga.

"Nira ada di halte kalo lo gak mau temuin dia, gue yang bakal susul."

"Gue hanya mau bilang lo itu sangat penting di kehidupan Nira."

Rain menatap Arta yakin, "Gue yang bakal temuin Nira."

"Dan sekarang nama gue bukan Iyan lagi."

"Tapi Rain," lanjutnya mantap.

Arta menepuk bahu sahabatnya kemudian membiarkannya pergi. Arta tersenyum lega, akhirnya ia bisa melihat Nira orang yang dilindunginya juga sahabatnya bisa dipertemukan. Pasti itu adalah momen yang bahagia untuk mereka berdua.

Namun, dibalik itu semua sejujurnya masih ada sesuatu yang masih mengganjal dihatinya. Jika Iyan ternyata adalah sahabat Nira juga. Apa nanti ia akan kehilangan Nira?

































*WARNING* Cerita ini hanya karangan fiktif belaka, ambil hal - hal positif buang yang negatif.

Hello~

Jadi mulai dari sini udah mulai awal konfliknya. Cepet banget ya. Iyaa karena cerita ini gak bakal sampai menyentuh chapter 40 :))

Kalau kalian suka silahkan tinggalkan jejak.

9 Juli 2020 (12.04)

REVISI LAGI (26 NOVEMBER 2020)

RANNIA : MY LOVELY FRIENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang