Dear, Pak Rolan.
Sebelumnya saya minta maaf karena saya nggak jago merangkai kata. Yang mau saya sampaikan di sini hanyalah permohonan maaf. Maaf karena saya sering sekali berbuat lancang dan tidak tahu sopan santun di hadapan Bapak. Saya benar-benar menyesal. Saya juga tidak bermaksud demikian.
Kalau Bapak ingin tahu, tujuan saya menjadi penanggung jawab di mata kuliah Bapak adalah untuk memperbaiki citra saya di depan Bapak. Saya tidak ingin dicap jelek oleh Bapak. Saya ingin sepenuhnya bertanggung jawab atas sikap-sikap saya yang merugikan Bapak, tetapi ternyata semakin ke sini, kesalahan saya ke Bapak terus terulang.
Untuk itu, saya sengaja memberikan kado kecil untuk Bapak, yang saya buat dengan tangan saya sendiri. Memang nggak seberapa, tetapi semoga Bapak menyukainya dan bersedia untuk memaafkan saya.
Sekali lagi saya minta maaf, Pak.
Tertanda,
Raye Adrinala.Senyum hadir dalam ekspresi Rolan. Tersimpul kecil, lama-lama melebar hingga menampakkan deretan giginya yang rapi. Matanya belum beralih dari secarik kertas dalam genggaman, masih menyorot lekat untaian kata yang terangkai di sana.
Senyum itu lantas berubah menjadi kekehan kecil, yang berarti bahwa level kebahagiaannya naik beberapa tingkat.
Rolan tak menyadari jika menerima surat permohonan maaf dari Raye akan jadi semenggembirakan ini. Baru pertama kali Rolan menerima surat yang ditulis secara manual dari mahasiswanya. Biasanya ia hanya menerima lewat email. Jadi, ini adalah sesuatu yang baru baginya.
Meninggalkan surat tersebut dengan meletakkannya di atas meja, Rolan lantas menukar fokusnya pada isi dari paper bag yang Raye berikan, yang belum sempat ditelisik benda apa yang terdapat di dalamnya karena secarik surat tersebut lebih menarik baginya.
Sebuah benda berbentuk persegi dikeluarkan dari dalam paper bag. Benda itu masih terbungkus rapi oleh kertas sampul cokelat. Rolan mulai menebak-nebak isi di dalamnya saat memindahkan benda tersebut ke atas meja, bersisian dengan surat yang sudah dilipatnya menjadi dua bagian.
Kedua tangannya segera ditugaskan untuk membuka bungkusan tersebut. Pelan-pelan merobeknya hingga apa yang berada di dalam sana mulai tampak dalam penglihatannya.
Sebuah lukisan. Sangat mirip dengannya dan tampak indah sekali jika dipandang. Ukurannya pun tak terlalu besar. Tidak juga terlalu kecil. Cenderung sedang.
Sekali lagi, senyum itu kembali muncul. Sama lebarnya seperti sebelumnya. Maniknya pun ikut berbinar, mengisyaratkan kegembiraan yang melonjak dalam dirinya.
“Bagus,” lirih Rolan, seraya menyapukan usapannya pada permukaan kaca di lukisan tersebut.
Rolan kemudian teringat dengan isi dari surat Raye, yang mengatakan bahwa gadis itu membuat lukisan ini dengan tangannya sendiri. Dan Rolan menyadari bahwa Raye sangatlah berbakat.
Mengambil ponselnya, Rolan pun mencoba menghubungi Raye. Langsung meneleponnya tanpa memberi tahu terlebih dahulu apa kepentingannya.
Panggilan Rolan dijawab oleh Raye sebelum suara deringnya berubah menjadi suara operator. Ada waktu yang cukup lama untuk menunggu Raye mengangkat teleponnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yes, Sir!
Romance[DIHAPUS SEBAGIAN - Bisa dibaca lengkap di aplikasi Dreame/Innovel dan Versi PDF tersedia di KaryaKarsa] Seumur hidupnya, Raye tidak pernah berkeinginan untuk membuat konflik dengan siapa pun. Hidupnya cenderung lurus-lurus saja. Apalagi setelah Ray...