Bab 13

90.7K 10.3K 514
                                    

Sebelum baca, ayo sini absen dulu kalian asalnya dari kota mana aja?


•••

Rolan benar-benar persis seperti seorang idiot. Tingkahnya belakangan ini sangatlah konyol. Ia bahkan mengabaikan kontrol dirinya sendiri, yang selalu berhasil mengendalikan semua situasi dengan sempurna. Ia malah membiarkan sisi lain dari dirinya menggerakkan segalanya. Logikanya pun turut ditendang agar tak ikut campur.

Rolan bukan tidak menyadarinya. Ia sangat amat sadar dengan sikap tololnya. Tetapi sialnya, hal itu baru disadarinya begitu ia tak lagi berurusan dengan Raye. Bersama Raye, Rolan seolah-olah menjadi pribadi yang berbeda.

Belum genap sebulan mereka bertemu, sikap Rolan sudah berlebihan. Semua hal tentang Raye ingin diketahuinya. Bila tidak berhasil mendapatkan kemauannya, maka Rolan akan termakan kekecewaan. Itu sungguh aneh.

Rolan bukan termasuk orang yang penasaran terhadap kehidupan orang lain. Rolan juga bukan orang yang mudah kecewa. Rolan selalu mengutamakan logikanya dalam bersikap, terutama untuk orang-orang yang terbilang baru dalam hidupnya. Lalu, bersama Raye, semua hal itu sirna dalam sekejap.

Entah sudah berapa banyak kesembronoan yang Rolan lemparkan pada Raye. Mulai dari saat mereka berada di parkiran perpustakaan sampai terakhir kali ia mengucap rindu yang setelahnya langsung disesalinya.

Konyol sekali, bukan?

Meski telah terjadi berulang kali, Rolan masih tidak mengetahui alasan mendasar dari sikap anehnya tersebut. Tetapi setidaknya Rolan tahu apa yang harus ia lakukan mulai saat ini.

Rolan harus menjauhi Raye untuk sementara waktu. Sampai ia bisa kembali mengendalikan sikapnya di hadapan gadis itu.

“Heh! Ngelamun aja lo.”

Satu teguran datang untuk Rolan. Ia baru tiba di kampus sekitar lima belas menit yang lalu. Hanya sendirian di ruangan dosen dengan laptop yang menyala, menampilkan soft copy dari tugas tiap-tiap mahasiswanya. Namun, bukannya memeriksa tugas-tugas tersebut, Rolan malah melamunkan perihal sikapnya terhadap Raye belakangan ini.

Mendongakkan kepalanya sembari menghapus segala pikiran tentang Raye, Rolan mendapati Gilang di sana, salah satu rekan sedosennya. Usia mereka yang tak jauh berbeda membuat keduanya lumayan akrab layaknya seorang teman. Terlebih lagi, dulunya Gilang adalah senior Rolan di kampus. Jadi, tak heran jika mereka menggunakan bahasa non-formal bila sedang berdua saja.

Rolan memberi senyum sekilas pada Gilang. “Masih banyak yang perlu diurus?”

Gilang berjalan menuju mejanya, terlihat mencari-cari sesuatu di lacinya. Tanpa menoleh ke arah Rolan, ia pun menjawab, “Lumayan, sih. Waktunya terlalu mepet.”

Rolan mengangguk, tetap mempertahankan penglihatannya pada Gilang yang sedang membongkar isi lacinya. Ada sekitar lima menit sebelum akhirnya Gilang meninggalkan laci mejanya dan mengambil posisi berdiri di depan meja.

“Oh iya, Lan, gue ada bawa anak-anak untuk lomba,” ucap Gilang, tanpa mengalihkan pandangannya dari Rolan dan tetap fokus memeriksa berkas-berkasnya yang sudah berada di atas meja. “Tolong gantiin gue ya? Minggu depan gue udah harus ke Jerman. Nggak keburu buat nemenin mereka lagi.” Di akhir kalimat, barulah Gilang mengarahkan tatapannya pada Rolan, menunggu tanggapan pria itu atas permintaannya.

Yes, Sir!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang