Sebelas

4 1 0
                                    


George tidak bisa menjadi dirinya sendiri sejak lamarannya pada Florence tidak ditanggapi. Ukuran kediaman Ackerley yang besar membuat George tidak sulit untuk menghindari Florence. George mulai merasa dirinya gila setelah beberapa hari terlewati, dan memutuskan untuk menghentikan tingkahnya yang kekanak-kanakan dan menemui Florence lagi, mencoba segalanya kembali, memohon ulang, apapun yang bisa George lakukan saat ini. Namun pemandangan di mana Florence dan Alford berciuman membuat semua pikiran George buyar: ia seharusnya tahu ia jangan mencari Florence di sore seperti hari itu.

Florence berteriak dan memekik ketika George membawanya menyusuri lorong, namun telinga George serasa ditulikan. George tahu yang barusan ia lihat adalah ciuman sepasang kekasih, dan ia bisa melihat cinta di setiap gerakan Florence. Tapi ia menolak untuk mempercayai hal itu.

"Kami akan menikah, apa pedulimu?!" Florence berseru. "Lepaskan aku!"

Dan Florence pun menghempaskan tangan George, berjalan kembali ke tempat Alford ditinggalkan. Yang terakhir George lihat adalah pemandangan dari jendela kamarnya, Alford yang meninggalkan kediaman mereka dengan muka yang masam.

George tidak tahu sudah berapa jam ia duduk di ruang baca kesukaan Florence, menatap langit malam di luar yang penuh bintang.

Entah sejak kapan kehidupannya terasa kacau. Tidak ada hal yang terasa benar lagi. Ingin rasanya ia menghela napas panjang dan menyerah saja tentang Florence, tapi ia tidak bisa.

Mimpi-mimpinya mengganggunya setiap malam, seakan mengingatkan bagaimana ia mencintai Florence. Dan kini ketika ia semakin jarang bertemu dan menyentuh Florence, perlahan-lahan George merasa dunia nyatanya terbalik dengan dunia mimpinya. Di dalam mimpi-mimpinya, ia selalu bisa menyentuh Belidis, selalu bisa memeluknya. Yang mana mimpi, dan yang mana kenyataan?

Bahkan ketika George menutup matanya untuk sesaat seperti kini, mencoba untuk membuat dirinya tenang kembali, yang terulang kembali bukanlah saat-saat masa kecil antara dirinya dengan Florence. Yang George lihat di dalam benaknya adalah saat-saat di mana dirinya membantu Belidis membuat ayunan pada ranting pohon mahoni, menemani Belidis merawat bunga-bunga yang ditanamnya. Bukit bunga yang ditinggali Belidis adalah tempat yang berada di dalam mimpi, namun George merasa dirinya tinggal di sana lebih lama daripada ia tinggal di kediaman Ackerley.

George kembali menghela napas panjang, menutup matanya. Jemarinya menekan-nekan pelipisnya. Mungkin George hampir gila karena kenyataan yang tidak bersahabat dengannya. Mungkin George hanya berusaha untuk melarikan diri dari kenyataan. Mimpi-mimpi ini hanya halusinasinya. Tapi kemudian lagi, apa mungkin halusinasi bisa berlanjut seperti ini, bagai membuat sebuah kumpulan memori baru di dalam benaknya?

George teringat bagaimana Florence kaget dan pucat ketika ia menyebut nama Fermio. George ingin berpikir lebih banyak, tapi kepalanya kini menjadi pusing. George berdiri dari kursinya, membuat buku di meja kecil di sampingnya tersenggol jatuh ke atas karpet, terbuka. Ditulis dengan indah dengan huruf-huruf kuno, di atas kertas yang telah menguning, membuat George mengangkat buku itu dan duduk kembali. Bukankah itu buku yang selalu dibaca Florence berulang kali?

George tercekat membaca nama-nama yang sudah terlalu familiar. Lebih merinding ketika ia membaca, entah apakah Belidis, Fermio, atau Helras, hanya darah yang turun dari mereka dapat membuatmu membaca diriku.

"Omong kosong apa ini?" George membelalakan matanya, menyalakan lampu lain agar ruangan lebih terang lagi untuk membaca.

Namun setelah berjam-jam George membaca buku itu, berulang kali, maka George mengerti semuanya. Ia belum pernah merasa semengerti ini di dalam hidupnya. Di dalam mimpi-mimpinya ia hanya melihat potongan kisah indah antara dirinya dengan Belidis, namun buku ini menceritakan segalanya, bahkan setelah dirinya — Fermio — meninggal.

Fleur (BACA LENGKAP DI WATTPAD!)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang