Sembilan

3 1 0
                                    


"Ada apa?" Florence bertanya khawatir. Begitu kentara dari setiap gerak gerik Alford bahwa ada sesuatu yang salah. Walaupun pada umumnya Alford bukan pria yang mengumbar senyum, namun tatapannya terlihat lebih dingin daripada biasanya hari ini. Cahaya sore biasanya bisa membuat figur Alford terlihat sedikit lebih lembut, apalagi dengan cangkir teh bermotif bunga dan scone mentega. Namun kali ini, bahkan cahaya sore pun kalah oleh tatapan dingin Alford.

"Ini Assam," kata Alford, menyebut nama jenis teh yang sedang diminumnya. "Aku benci Assam."

Florence tergagap. Ia telah ceroboh memberikan kesukaan George dalam suguhan minum teh dengan Alford. "Akan kuminta Sebastian untuk ganti. Daarjeling? Earl Grey? Apa yang kau mau?"

"Sudahlah," Alford meraih serbet, mengelap bibirnya. Kemudian ia menatap Florence, "Kau tahu, segalanya tampak salah bagiku sekarang ini. Sophie berkata kau adalah wanita yang pemberani, namun kau sering tergagap di hadapanku. Ibu berkata kau adalah wanita yang cantik, calon ibu rumah tangga yang baik, tapi hingga detik ini kau tidak bisa mengingat jenis teh kesukaanku."

Kata-kata Alford membuat Florence seketika menyudahi santapan sorenya. Ia dipaksa untuk memberikan seluruh perhatiannya pada Alford di hadapannya, yang suasana hatinya tidak pernah lebih buruk daripada hari ini.

"Kau tampak bisa berteriak dan menegur siapapun dengan tegas, tapi kau membiarkan diriku seenaknya padamu," Alford melanjutkan. "Aku tidak melihat dirimu yang dulu."

Florence tidak bisa tidak merasa frustasi. Sebenarnya apa yang ia harus lakukan? Ia tidak bisa membantah kata-kata Alford. Semakin lama ia berada di dalam pertunangan ini, ia semakin merasa kehilangan dirinya. Hanya ciuman dan dekapan George yang bisa membuatnya kembali ke masa lalu, dan sejak Florence menerima lamaran nikah Alford, hal itu sangat jarang, bahkan tidak pernah terjadi lagi. Ia tidak tahu bagaimana agar dirinya bisa normal.

"Apa yang kau ingin aku lakukan?" nada bicara Florence menyiratkan kekesalan. Ia bangkit dari duduknya. "Apa kau tidak sadar betapa kau memiliki wibawa yang besar? Bahkan diriku tidak bisa mentolerirnya. Aku yang sekarang ini sangat kacau."

Florence tahu mata Alford mengikutinya masuk dari balkon ke dalam rumah. Florence mencari tempat yang teduh, di mana sinar matahari sore yang kini mulai menjadi hangat tidak bisa meraihnya. Ia membuat dirinya nyaman di atas sofa, namun bayangan Alford kemudian mendekatinya. Sebelum Florence bisa menyadari apapun lagi, tangan Alford telah meraih miliknya.

Telapak itu dingin, tidak seperti milik George. Namun terlalu sering disentuh olehnya membuat Florence merasa terbiasa. Tapi bagaimanapun, yang Florence rindukan adalah kehangatan.

"Apa kau khawatir dengan hari pernikahan kita yang semakin dekat?" Alford bertanya.

"Tidak," Florence berbohong.

"Aku juga tidak," Alford berkata. "Aku tidak khawatir akan pernikahan. Aku khawatir akan rasa dingin di antara kita."

Florence mendekat hingga lengannya menempel dengan milik Alford. Ia mendesah ketika berkata, "Apa kau merasakannya? Kehangatan."

"Florence," Alford berkata, tatapannya kosong. "Aku ingin cinta yang membara."

Florence merasakan jantungnya berpacu. Mendengar kata 'membara' membuatnya mengingat detik-detiknya bersama George. Itu, adalah 'membara'.

"Dan aku belum melupakan kata-katamu pada Susie. Aku belum bisa percaya sepenuhnya padamu. Namun kau membuatku sedikit lebih tenang dengan rencana pernikahan kita."

"...bagaimana aku bisa membuatmu tenang sepenuhnya, kalau begitu?"

Alford menoleh pada Florence, sinar sore menyinari belakang kepalanya. "Aku ingin... cinta yang membara. Aku ingin melihatmu merona merah, aku ingin melihatmu cemburu, aku ingin melihatmu menggebu-gebu. Aku tidak pernah melihat semua itu. Hingga aku bertanya-tanya apa yang sedang aku lakukan selama ini."

Fleur (BACA LENGKAP DI WATTPAD!)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang