Lima

5 2 0
                                    


Alford kehilangan minatnya untuk menyisip teh setelah Florence tiba-tiba naik ke kamarnya. Ia tidak percaya sama sekali perkataan George bahwa Florence tiba-tiba sakit — ia melihat sesuatu terjadi di balik tangga putar ruang tengah kediaman Ackerley, namun Alford memilih untuk diam. Bukan sekali dua kali pikirannya membohongi dirinya, membuat ilusi akan apa yang ia lihat, karena kekhawatiran dan keprotektifannya pada Florence yang berlebihan.

"Walaupun aku melihatmu begitu sering, Cromwell, namun entah mengapa terasa lama sejak terakhir bercakap-cakap denganmu." George memerhatikan wajah Alford yang masam, kemudian tersenyum.

"Jika Florence tidak akan turun menemuiku lagi, aku akan pergi untuk hari ini," Alford berkata singkat.

George tertawa. "Tenang, Cromwell. Kembali ke masa lalu, bercanda seperti ini. Atau kau memanggilku untuk mendengarkan permainanku dengan jelas? Haruskah aku membawa biolaku kemari?"

"Tidak perlu," tukas Alford, kemudian memberi jeda dalam kalimatnya, "Sakit apa Florence? Aku ingin menemuinya."

Alford menyalakan pipanya. Asap tembakau keluar dari ruangan makan itu melalui jendela yang terbuka lebar, menghilang di langit jingga luar.

George tidak menghiraukan permintaan Alford. "Kau masih Tuan Muda Cromwell yang dulu, dengan pipamu itu."

"Sedari tadi kau berbicara seolah kau sudah bertahun-tahun tidak melihatku. Kita sering kali bertemu, Ackerley. Di dalam pesta-pesta itu, tapi kita seolah tidak mengenal satu sama lain."

"Aku tidak dengan sengaja menjauhkan diri darimu," George tersenyum tipis. "Hanya saja, dirimu yang tumbuh menjadi seorang Cromwell sejati membuatku menyingkir. Tapi, hah, menjauhkan diri darimu, tadi kubilang? Bagaimanapun aku berusaha untuk melakukan itu, kau tetap tunangan Florence."

Ekspresi Alford yang sedari tadi dingin kemudian terpecahkan dengan sebuah tawa sinis. "Ah, benar. Betapa aku kaget ketika mendengar bahwa kau, walinya, menyetujui pertunangan ini. Kukira selama ini kaulah yang memiliki hatinya. Tapi melihat sikapnya padamu, siapapun tahu dia adalah milikku sekarang."

Garis wajah George mengeras. "Tapi tentu saja, ada tempat yang tidak bisa kau lewati di dalam hubungan adik-kakak antara aku dan Flo."

"Adik-kakak," Alford mengulang dengan dengusan. Ia berdiri dari tempat duduknya, "Adik-kakak, itu saja. Lebih dari itu, Ackerley... walaupun kau adalah temanku — dulu, setidaknya — aku takkan memaafkanmu. Aku ingin bertemu Florence segera setelah ia sembuh. Aku harap itu adalah besok."

Alford menyelesaikan kalimatnya kemudian berjalan ke arah pintu luar tanpa menengok dua kali. Ia mengambil jas dan topinya dari Sebastian, kemudian melangkah pergi dari kediaman megah milik keluarga Ackerley.

***

Kenyataan bahwa Florence — walaupun keturunan ningrat — adalah yatim piatu yang bisa menjadi calon menantu Cromwell mungkin akan mengejutkan banyak orang.

Florence sendiri dari waktu ke waktu sering bertanya-tanya di dalam hatinya tentang hal ini. Seperti kini, ketika ia duduk di dalam keremangan gedung opera di antara Alford dengan kedua kakak perempuan Alford. Tangan Florence tertangkup di pangkuannya, membuat kain tipis sarung tangannya saling bersentuhan.

Pikirannya melayang ke segala hal selain pertunjukkan di hadapannya sendiri. Ia tidak terlalu ingin menonton opera saat ini, setelah George membisikkan hal seperti itu di balik tangga putar, ketika Alford sedang berkunjung kemarin. Florence sebisa mungkin meyakinkan Alford bagaimana dirinya sudah sembuh dari sakit yang tiba-tiba datang kemarin, sehingga ia menyanggupi permintaan Alford untuk menonton opera bersama.Ia tidak pernah sakit, namun tentu saja George memerlukan suatu kebohongan untuk menutupi kejadian Florence yang menghilang di tengah-tengah acara minum teh sore bersama Alford kemarin.

Fleur (BACA LENGKAP DI WATTPAD!)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang