Ruangan Putih

129 20 1
                                    

Ia kini sendiri, menatap ruangan putih yang tak berujung panjangnya. Suara lariannya menggema, ternyata yang ada hanya dia sendiri di sana. Tempat ini membingungkan. Walau ia berlari sejauh apapun, yang ia lihat hanya ruangan kosong tak terisi. 

“Eh, dimana ini ih. Sepi banget dah, kek hatinya readers.” Ara berlagak sombong.

Pikirannya masih terheran-heran, entah mengapa buku itu masih ada di genggamannya. Beribu-ribu pertanyaan terpampang jelas di benaknya: tentang cara bagaimana ia masuk ke dunia se-aneh itu, juga tentang bagaimana nasib ayah dan ibunya yang sedang panik dengan keadaannya sekarang.

Buku itu ia buka, dan perlahan terpampang jelas semua tulisan yang semula hilang. Namun tulisan itu perlahan mulai mengambang, tersusun rapi diatas kepalanya. Ara kaget, rasanya ingin sekali ia jatuh saat itu juga. Semua kejadian ini aneh, tak pernah terpikirkan di benaknya jika semua peristiwa ini akan terjadi.

Ya, tulisan itu mengambang. Dan pada akhirnya sebuah kalimat itu terpampang .


Lalu membentuk sebuah tombol


LANJUT ATAU TERHENTI

Dengan cepat, tangannya memencet tombol yang ia inginkan. Dan dengan cepat juga, muncullah gadis kecil nan mungil. Kira-kira tingginya hampir sama dengan Ara. Namun perbedaannya, gadis itu memiliki rantai yang terikat di leher, seolah dia terikat dengan suatu benda.

“Heh, gausah kaget gitu, kau kira aku mantanmu? Kenalin, aku Octa, putri tercantik di alam ini” Octa mengibaskan rambutnya, seolah berlagak sombong.

“Gak heran kalau kamu paling cantik disini. Kan disini nggak ada siapa-siapa.” Ara menjulurkan lidahnya.

“Lah yang bilang aku orang siapa dah,” ucap Octa sembari menaikkan alisnya. Tangan Octa membentuk gerakan, dan seketika ia berubah. Sialan,Ara hampir pingsan. Dalam beberapa detik Octa berubah menjadi beragam bentuk.

“Gini bagus?” Octa kini berubah menjadi jin. Di sisi lain mulut Ara terbuka.

“Atau gini?” Octa kini menjadi nenek-nenek yang membawa pisau.

"Waw. Bisa kamuflase." Ara tertawa.

Tapi di sisi lain, Ara takut. Ia memukul kepalanya, memastikan bahwa ini hanya mimpi. Dan ternyata ia merasakan rasa sakit yang ia buat sendiri. Walau itu semua nyata, batinnya masih memberontak dan mengatakan ini semua hanya khayalannya.

“Heh Ara. Aku bakalan bawa kamu ke suatu tempat.” Octa kembali mengubah dirinya seperti semula.

Octa melompat, dan dunia putih itu beralih menjadi goa. Ara mencoba mencari Octa, namun ia hilang. Dengan terpaksa Ara memberanikan diri untuk melanjutkan langkahnya.

Goa itu terpampang di depannya. Batu besar itu bertuliskan, “Kamu mencari syarat itu? .” Ara mulai menggaruk-garuk kepalanya yang memang tak gatal.

Ia mulai masuk ke sana, gelap, ia tak membawa alat  penerangan satupun. Ara mencoba mencari alternatif, namun bahan-bahan itu tak ia temukan. Ia masih berusaha dan mencari. Dan tanpa ia sadari, obor itu ada di tangannya. Ara melihat sekeliling, mencari sosok yang memberikan obor itu kepadanya. Dan ternyata Ara tak menemukan satu orangpun disana, Ara mulai ketakutan dan mulai membayangkan sosok-sosok seram. Ia bergegas masuk.

“Gelap banget woy tolong, serem.” Ara mulai panik.

Matanya tertuju pada benda yang berada tepat dibawahnya. Tanpa ia sadari, tangannya terayun, meraih suling bambu yang asalnya tak ia ketahui. Ia meniupnya, menghasilkan bunyi-bunyian yang memukau telinganya. Kini badan Ara mulai tersentak,melihat sulingnya yang ia tiup mengeluarkan huruf-huruf yang perlahan membentuk sebuah kalimat.

“Hai Ara. Aku tau bahwa pikiranmu masih tak bisa mempercayai ini semua, tapi yakinlah bahwa ini semua memang nyata.” Ara mencoba menenangkan diri.

“Ara. Aku akan memberikan semua syarat itu, seperti yang aku janjikan tadi.

1. Syarat yang pertama. Buku itu tidak boleh lepas dari genggamanmu, selama ia
masih di genggamanmu, kamu tak akan terlihat oleh orang lain. Jika sampai buku itu lepas dari genggamanmu. Kamu akan terlihat oleh mereka, dan harus masuk, ambil bagian dari masa depanmu itu.
2. Syarat yang kedua. Menghindarlah dari orang bermata khusus.”

Ara mengibaskan tangannya ke atas, memecah belah kalimat berpola rapi nan mengambang itu.

“Lah, ciri-cirinya gimana?” Ara kebingungan.

CTAAK, Ara merasakan sakit di kepalanya, rupanya Octa memukulnya.

“JANGAN NYELA-NYELA DONG BAMBANK! SINI AKU AJA YANG JELASIN” Octa merebut buku itu dan mulai membacanya.

“Orang bermata khusus itu ciri- cirinya nggak bisa ditebak, tapi auranya kerasa. Ara nggaboleh tatap2 an sama dia, kamu juga nggak boleh sampe terpikat karna gantengnya, karna kalo ada seseorang yang suka dia, dia bakalan dapet sinyal dan otomatis dia ke arahmu dan mencoba menatap matamu. Nah, si orang bermata khusus itu bisa merebut buku itu dan pada akhirnya dia bakalan ngasih buku itu ke orang yang nantinya berpengaruh di masa depan kamu.” Octa membacakan syarat itu.

Kini Ara ada di ambang kebingungan. Rasanya ingin ia menghilang saja dari dunia yang aneh itu. Di mata Ara, semua syarat itu terlalu beresiko bagi anak berumur 10 tahun seperti dirinya.

Octa menutup bukunya. “Lanjut atau terhenti?”

“LANJUT!!” ucap Ara sembari menenangkan hatinya.

WUSSH

Turn Back Time!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang