XIV. Mimpi Yang Dilupakan

1.5K 229 81
                                    




📚









Musim panas identik dengan udara yang kering, angin yang bertiup membawa hawa panas, dan sinar matahari yang senantiasa mengiringi langkah hingga terkadang disaat senja sudah menyapa.


Beberapa orang menyukai musim semi; mengingatkan mereka tentang romansa cinta pertama yang bergempita di festival kota. Sebagian lagi menyukai musim gugur; suasana sendu yang selalu membawa rindu tentang mimpi di masa lalu.


Dan tidak sedikit di antaranya jatuh cinta dengan bekunya musim dingin; merenungi kisah yang mungkin saja menyedihkan tetapi layak untuk dikenang dalam bahasa kalbu.


Mungkin musim panas bisa dikatakan sebagai raja dari segala musim. Dia membawa sejuta mimpi dari musim semi, mengumpulkan setiap sendu untuk menyambut musim gugur, dan menyiapkan hati untuk merenungkan kenangan di musim dingin nanti.


Begitulah juga untuk seorang Lee Jeno. Musim panas adalah musim yang selalu ia tunggu. Karena musim ini, adalah sesuatu yang menciptakan masa depannya menjadi nyata. Sesuatu yang menjadikannya seorang pria dengan satu tujuan nyata.


Musim di mana seorang renjana terlahir untuk memberi cintanya kepada dunia.


Musim di mana cinta dari sang renjana itu, menjadi miliknya seutuhnya.


Ya, musim panas membawa Na Jaemin masuk ke dalam sketsa kehidupannya. Dan musim panas juga yang akhirnya mengganti Na menjadi Lee di awal skenario baru yang akan dilakoninya.


Jika kalian bilang kalau kalian juga menyukai musim panas, boleh saja. Tetapi sepertinya tidak akan bisa menyaingi level seorang Lee Jeno. Coba saja.


Dan di musim panas kali ini, dengan seluruh kekuatan doa, ia meminta untuk selalu menjaga kedua renjanya dalam lindungan cinta.


Tetapi, kadang manusia lupa, kalau tidak selamanya doa dapat dikabulkan walaupun pasti didengarkan.









📚









"Panasnya tiga puluh sembilan derajat lebih."


Jeno menatap Ibu Mertuanya dengan ekspresi panik. "Tapi, apa dia masih mau makan, Jangmeonim?"


"Sepertinya tidak bernafsu. Oleh karena itu, Eomma menyuapinya pelan-pelan. Tadi juga sudah Eomma bawa ke praktek Mantri Anak dekat sini."


Dua pasang manik rubah sama mengerjap, tempo berbeda, tatapan sama sendunya.


"Eodi apho?" tanya Jeno, mengelus perut buncit Jisung yang sedang merengut.


"Yodiii..." Jisung menunjuk tepat di pusarnya. "Aphooo..."


Jeno memaksakan senyumnya, mengusap perut jagoan kecilnya dengan lembut lalu berpaling ke Ibu Mertuanya. "Apa tadi kata Mantri, Jangmeonim?"


Helaan nafas berat terlolos dari bibir Nyonya Na. Ia ikut bersimpuh di sebelah Jeno, mengulurkan tangan dan membelai kedua kaki Jisung perlahan. "Kata Mantri, Jisung mungkin terkena flu musim panas. Dan soal perutnya yang sakit itu karena diare, mungkin dia makan sesuatu yang aneh." Ia menjeda, berpaling lalu menepuk bahu Jeno. "Maaf, Eomma terkadang terlalu repot di dapur sehingga tidak bisa fokus mengawasi Jiji."


Jeno menepuk punggung tangan Ibu Mertuanya dengan lembut. "Tidak apa, Jangmeonim. Justru aku yang berterima kasih karena Jangmeonim bersedia menjaga Jisung."


The Chronicles of A Boy : The ThresholdTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang