VI. Selalu Saja Begitu

2.7K 362 98
                                    




📚









Jam dinding menunjukkan pukul 01.05 pagi saat Jaemin berupaya keras, mencari segala cara untuk kembali menidurkan Jisung yang lagi-lagi terbangun karena hawa panas.


Sebenarnya ia masih terjaga bukan hanya karena Jisung. Ada beberapa hal yang membuatnya sangat kesal, satu di antaranya yaitu sang kepala keluarga yang belum pulang ke rumah padahal sudah lewat dari jam pulang kerjanya.


Sungguh, ia sudah sangat mengantuk dan lelah. Sempat ingin menelepon Ibunya, tetapi niatnya itu diurungkan dengan cepat ketika mengingat kalau Ibunya juga masih harus berangkat pergi bekerja pagi-pagi.


"Adek tidur lagi ya..." pintanya sembari menimang Jisung yang masih merengek. "Hhh..." Ia mengecek lipatan leher putranya, di mana terdapat biang keladi atas rengekannya yang semakin menjadi-jadi; ruam merah dan biang keringat.


Hati-hati dan seksama, ia mengolesi gel pereda gatal di leher Jisung sembari sesekali mengipasinya dengan lembut. Sebenarnya ia bisa saja menyetel kipas angin, tetapi itu sangat lah buruk untuk kesehatan putranya yang kini berusia enam bulan itu.


Dan ketika rengekan Jisung mulai mereda, Jaemin baru bisa bernafas sedikit lega. Ia kembali menimang Jisung sembari berjalan berkeliling ruang tamu kecil kediamannya, sesekali melirik keluar jendela; berharap cemas untuk Jeno pulang dengan segera.


Dan saat jam menunjukkan tepat pukul 02.00 pagi, pintu depan pun terbuka dengan sangat lambat, disusul oleh sosok sang kepala keluarga masuk sembari berjinjit seperti seorang pencuri.


"Dari mana, Pi?"


Jeno tersentak kaget, tidak mengira kalau suaminya itu tengah menunggu bersama Jisung.


Ia berjalan mendekat, tersenyum canggung. "Lembur sebentar tadi," jawabnya sembari melepas jaketnya, "Pipi bersih-bersih dulu, ya, Mi," pamitnya seraya bergegas pergi ke kamar mandi.


Jaemin hanya bisa menghela nafas panjang.









📚









"Jangan bohong, Pi. Habis dari mana?" selidik Jaemin, menatap Jeno yang sedang menikmati segelas teh hangat di dapur.


"Lembur, Mi." Jeno menghabiskan sisa tehnya lalu membawa gelas kotornya ke bak cucian piring. "Mana Kakak? Sudah bisa tidur?"


Jaemin menjetakkan lidahnya. "Kau habis berjudi lagi, kan?" tuduhnya kasar.


"Enak saja! Siapa yang bilang?!" sanggah Jeno cepat.


Manik Jaemin menyipit, ia bersedekap seraya melangkah mendekat pada suaminya itu. "Kalah lagi? Habis berapa?"


"Siapa yang bilang aku main judi?? Mimi tidak percaya??"


"Jangan teriak-teriak, ini sudah malam!"


"Lagian Mimi nuduh terus!"


"Ya karena itu KENYATAAN!"


Keduanya terdiam. Suasana sepi kembali, yang terdengar hanya suara nafas Jaemin yang terengah dan ketukan jari Jeno di permukaan meja.


"Habis berapa?" tanya Jaemin, memecah keheningan.


Jeno melengos malas. "Aku tidak berjudi. Hentikan menuduhku terus-terusan. Kau membuatku kesal saja. Aku baru pulang kerja. Lelah, sangat lelah. Tetapi malah kau sambut dengan wajah cemberut dan omelan tidak berguna."


The Chronicles of A Boy : The ThresholdTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang