XXVI. Menunggumu

1.2K 195 123
                                    




📚









Hari ini, bumi menyambut pagi dengan semaraknya sinar matahari. Awan kelabu yang biasa memayungi angkasa, pagi ini mereka terbuyar, terbias oleh pancarona sang Bagaskara.


Jika biasanya pagi mengundang gerimis musim semi, kali ini pagi berteman dengan kehangatan yang perlahan merayap, menyelimuti hati.


Sungguh hari yang sempurna di akhir musim semi.


Dan di sini, di teras rumah kediaman kecil Lee, sang Jagoan Kecil sudah hadir untuk menghadiri jadwal hariannya; menunggu Ayahnya pulang dari pabrik bersama Nemo, tentu saja.


Sesaat setelah maniknya terbuka, menyapa kembali dunia nyata, ia lekas turun dari ranjang dan berlari menuju pintu depan.


Bukan hal yang aneh lagi bagi Jaemin, untuk menyaksikan bagaimana si Kecil dengan matanya yang masih setengah tertutup—atau masih tertutup—berlari ke teras depan dan duduk dengan tenang di sana sampai Ayahnya pulang. Jadi, ia memilih untuk membiarkan dan tetap melanjutkan pekerjaannya; memasak sarapan pagi.


Jam sudah menunjukkan pukul 07.50 saat Jaemin selesai dengan segala kerepotan di dapur. Dan dengan segelas susu di tangan, Jaemin menghampiri si Jagoan Kecil yang sedang bernyanyi bersama Nemo di teras depan.


"Minum susunya dulu, habis itu sikat gigi terus mandi, oke, Boss?" pintanya seraya ikut duduk di tangga teras depan.


Jisung lekas menghabiskan susunya, lalu ia menyimpan gelas dengan tutup yang berbentuk kepala anak ayam itu di sisi kanan seraya kembali memangku Nemo-nya.


Lama keduanya duduk di sana, tetapi sosok yang ditunggu tidak kunjung datang. Dan itu sedikit membuat emosi di Kecil terusik dan mulai rewel bertanya.


"Miii... Pipi kenapa yamaa?"


"Pipi lagi di jalan, kalau di jalan, harus hati-hati, Kak."


"Yapi uda jam deyapan, Miii..."


Jaemin menggusak surai si Kecil dengan lembut. "Sabar, ya... Pipi kan habis kerja, mungkin Pipi capek, jadi jalannya pelan-pelan," bujuknya.


Kedua alis Jisung menukik, matanya menyipit dan bibirnya tercebik. "Pipi apek? Anti Jwi pijat ndeee..."


"Iya. Nanti kalau Pipi pulang, Kakak kasih pijat-pijat biar tidak capek lagi."


Keduanya kembali terdiam, tetapi suasana semakin suram.


Entah karena mendung yang tetiba datang tidak diundang, atau karena yang ditunggu belum juga datang.


Entahlah.


Yang pasti sekarang nyanyian riang si Kecil sudah menghilang dan berganti menjadi rengutan serta decakan.


"Pipi mungkin lembur, Kak," ujar Jaemin, mengangkat Jisung dan mendudukkannya di pangkuan, "Kakak mandi dulu, ya. Habis itu nunggu Pipi lagi," tambahnya kemudian.


Jisung menggeleng cepat, surai legamnya menggesek dagu Jaemin, yang tengah bertumpu di puncak kepalanya.


"Nanti biar Pipi senang kalau pas pulang, terus lihat Kakak sudah tampan."


Sejenak ragu, tetapi akhirnya Jisung mengiyakan dan akhirnya mengikuti Jaemin masuk ke dalam rumah.









📚









The Chronicles of A Boy : The ThresholdTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang