Langit Senja-1

485 31 0
                                    

Kedai kopi cukup terkenal di wilayah barat mungkin tak seramai di wilayah timur akan tetapi, ada satu menu andalan yang selalu dicari pengunjung tiap memesan, yaitu roti lapis. Ada banyak sekali resep roti lapis apalagi masakan restoran terkenal namun, food court di Tobleron Street juga tak kalah enak. Sayangnya, setiap koki punya ciri khas dan beruntunglah Dandelion Coffee memiliki satu di antaranya.

Sudah terjual lebih dari dua puluh pesanan roti lapis, tentu jauh berbeda dengan kopi yang hampir menyentuh seratus cangkir. Pesanaan roti lapis ke dua puluh empat disertai dua cangkir kopi mocca untuk meja nomor lima. Koki di balik meja dapur sudah terjun, peluhnya yang kadang nakal meminta perhatian diusap menggunakan handuk. Ada enam pesanan roti lapis, empat bagian dibungkus dan sisanya diniknati di tempat.

"Nona itu selalu datang dan duduk di meja nomor lima," kata salah satu pelayan wanita.

"Oh, Nona yang di meja nomor lima? Ya, dia selalu memesan pesanan yang sama di meja yang sama pula," kata pegawai lainnya.

"Terserah pelanggan mau duduk di mana? Cepat antar pesanannya," kata koki tegas.

"Iya, Pak koki."

Satu cangkir kopi moka dan dua roti lapi, tapi yang satu dibungkus dengan rapi dan berstempel DC. Wanita berkucir kuda itu tersenyum pada pelayan dan kemudian menyeruput kopinya, meski masih panas, tapi manisnya pas sekali. Ia berpindah ke roti lapis yang aromanya sudah menggoda selera makan sedari tadi. Tangan lentik mencubit tepian roti, pasti gurih lelehan mentega dan ia tampak menikmatinya sekali.

Namanya Evelyn, gadis dua puluh lima tahun yang terkesima pada sosok koki Dandelion Coffee. Ia seorang pengajar di salah satu taman kanak-kanak tak jauh dari kedai, maka dari itu setiap akan berangkat mengajar, mampir dahulu untuk sarapan di sini. Ia juga selalu membeli lebih dari satu roti lapis mungkin untuk dinikmati sambil mengajar dan wajahnya rupawan.

"Dia tampan sekali, aku harap dia masih single sebab, aku benar-benar menyukainya," kata Evelyn dalam hati.

Evelyn meninggalkan meja nomor lima sambil membawa kotak berisi roti lapis pesanannya ke tempat mengajar. Murid-murid berusia pra sekolah menyambut kedatangan Evelyn dengan hati riang gembira, seraya mencium tangan kanan mereka bercerita soal sarapan dan bekal hari ini. Ada satu anak perempuan berambut panjang dan dikepang duduk sendirian di depan kelas, pun dihampirinya.

"Hei, cantik. Namamu siapa?" tanya Evelyn ramah.

"Rose," kata si gadis kecil.

"Namanya cantik sekali. Kau murid baru, ya?" tanya Evelyn.

"Iya, papaku bilang sekolahku di sini sekarang, aku suka ada ayunanannya, tapi dimainkan anak itu terus," kata Rose menunjuk anak lelaki gendut.

"Mau main di kelas? Di kelas juga ada mainannya," ajak Evelyn seraya melihat _badge_ baju Rose ternyata itu kelasnya.

"Benarkah?"

Evelyn mengajak Rose ke bagian mainan ditata rapi, dia begitu senang sekali bermain terutama balok-balok kayu yang bisa disusun menjadi rumah kayu. Kegiatan belajar-mengajar dimulai pukul tujuh lewat tiga puluh menit, jam sembilan istirahat lalu jam sepuluh pulang. Hari ini, Evelyn berniat akan reuni dengan temannya sepulang mengajar namun, belum tahu akan bertemu di mana? Evelyn mendapatkan kabar bahwa tempat bertemu kangen dengan teman sekolahnya saat sudah sampai di rumah.

Ada sebuah kendaraan pribadi warna silver di depan rumah, pintu juga terbuka lebar artinya benar ada tamu berkunjung entah tamu siapa? Suara gelak tawa dan obrolan terdengar semakin jelas, itu suara papa dan mamanya. Evelyn masuk rumah barulah tahu siapa si tamu? Dia adalah anak dari teman seangkatan papanya di sekolah, datang untuk diperkenalkan pada Evelyn.

"Oh, ini dia Evelyn sudah pulang. Mari sini duduklah," kata mama Evelyn.

"Ada apa, Ma?" tanya Evelyn sembari duduk.

"Dia ini Devian putranya Om Sebastian. Kami sepakat berencana mau menjodohkanmu sama Devian ini." Maama Evelyn menjelaskan.

"Sekarang sudah jaman modern, Ma, Pa. Kok masih ada saja acara dijodohkan segala?"

"Kalau kita cocok kenapa tidak?" tanya Devian, pria yang mempunyai alis tebal yang indah.

"Benar, Evelyn. Devian ini orang Indonesia asli yang bekerja di sini, dia arsitek sesuai keinginanmu punya suami seperti itu."

Evelyn tak bisa berkata-kata, sebab dirinya dulu memang mengatakan ingin punya suami seorang arsitek atau insinyur, sekarang terwujud bukan? Namun, koki Dandelion Coffee juga sama menariknya bukan? Evelyn berkata jika akan mengenal lebih dekat sebelum memutuskan menerima atau menolak perjodohan ini. Papa dan mamanya sangat berharap Evelyn melepas masa lajangnya tahun ini, agar segera bisa menimang cucu pertama mereka.

Devian mengajak Evelyn keluar dan melupakan acara reuni yang sudah ditentukan tempatnya. Evelyn menghentikan laju kendaraan Devian dan meminta maaf kalau tak bisa jalan sebab ada acara reuni namun, Devian mengatakan jika tak keberatan untuk ikut sekalian berkenalan dengan teman-teman calon istrinya. Keduanya meluncur ke sebuah cafè yang nyaman dan terkenal oleh minuman cokelatnya yang enak. Evelyn mengira jika tak banyak teman datang, rupanya ia salah sebab tiga puluh empat temannya hadir di sana dan menyewa lantai dua cafè.

Teman-teman reuni Evelyn tentu saja terbelalak gembira mengetahui bahwa temannya akan menjadi istri seorang arsitek. Meski Evelyn belum ada rasa pada pria beralis tebal itu, namun sikapnya memang baik dan ramah nilai _plus_nya adalah Devian orang yang begitu perhatian. Evelyn pamit ke toilet sebentar pada Devian dan teman reuninya yang sudah mulai menyantap makanan pesanan. Gadis berkucir kuda itu menuruni tangga akan tetapi, terhenti di tengah anak tangga sebab melihat sesosok pria yang dikenalnya sebagai koki Dandelion Coffee duduk di meja nomor sepuluh sendirian.

"Bukankah ini kesempatan bagus? Aku bisa ungkapin perasaanku selama ini," kata Evelyn.

Evelyn lantas mendekati meja nomor sepuluh dan koki Dandelion terkejut dihampiri oleh gadis yang selalu memesan dua roti lapis dan secangkir kopi moka di tiap pagi.

"Ada apa?"

"Aku Evelyn, yang suka pesan sarapan di Dandelion Coffee."

"Aku tahu."

"Kau tahu, ya. Langsung saja, aku mau katakan sesuatu kalau aku menyukaimu."

Pria itu menatap Evelyn sambil tersenyum tipis. "Terima kasih atas perasaanmu, sayangnya aku tidak akan pernah bisa membalasnya sebab sudah beristri dan mempunyai anak."

Evelyn tercekat. "Oh, begitu."

"Ya. Ini istri dan putriku, Rose." Pria tampan itu.menperkenalkan keluarganya.

Evelyn terkaget-kaget ternyata Rose muridnya adalah putri dari koki pujaannya dan berkata dalam hati, "Rupanya ini cinta tak direstui Tuhan."

Evelyn kembali ke lantai dua, kembali pada jalan yang sudah digariskan Tuhan untuknya itulah yang terbaik.


End

Asterin ✓ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang