Kalau mau pegangan tangan, bilang. Gue akan setia menggenggam tangan lo, bukan karena suka tetapi, takut lo hilang.
- Alan
=AlayaFobia=
Matahari tergelincir pada cakrawala sore ini, meninggalkan langit kuning yang menjingga. Memberhentikan waktu sejenak, meninggalkan kenangan sebelum malam lalu kembali menulis kenangan sebelum fajar.
Lampu indah menyambut kedatangan dua remaja itu. Seragam sekolah masih melekat pada tubuhnya. Sang gadis dengan gemas menarik keras tangan sang cowok membuat cowok itu mendengus sebal. Ia sangat malam berjalan dikeramaian tetapi, karena gadia gila yang sialnya musuhnya itu selalu memaksakan kehendak.
"Lo mau apa?" tanya Alfin lempeng.
Alaya menatap berbinar sekeliling di sekitarnya banyak sekali mainan, makanan, juga banyak hal menarik lainnya yang sanagat ia rindukan.
Pekikan tertahan keluar dari bibirnya. Gadis itu bersorak kegirangan dengan tubuh yang meloncat kecil bagai anak kecil dan hal itu tak luput dari mata Alfin yang sejak tadi tak mengalihkan pandangannya.
Pria itu mendengus. "Gak usah, lebay." Ia berujar sinis dengan kepala menyentil pelan dahi Alaya.
"Ishh. Alfin nakal, Laya gak suka." Lihatlah, bagaimana bocahnya Alaya jika sudah melihat hal yang ia suka.
"Bocah."
"Biarin. Penting cantik," ujarnya mengibaskan rambut panjangnya.
"Dih, pede." Pria itu memandanya tak minat. Najisin banget si Alaya sudah overdosis alay sekarang pede sudah mulai berkreasi.
"Lo kok jahat banget, sih?" Ia berpura-pura menangis bahkan sampai berteriak membuat beberapa orang menatapnya aneh, "tapi, gak apa-apa, sih, asal lo traktir gue malam ini." Cengirnya.
Alfin yang merasa gemas sekaligus kesal menatap tingkah Alaya segera merangkul bahu gadis itu membawanya menuju berbagai permainan yang mereka sukai.
Dua remaja yang masih mengenakan seragam sekolah itu sangat terlihat bahagia menikmati beberapa permainan serta kuliner. Tawa indah terpatri pada wajah keduanya. Terlihat lepas tanpa beban membuat siapa saja yang melihat pasti akan tertular tawa itu.
"Gue capek. Nyari makan, yuk?" ajaknya mengatur napas yang mulai ngos-ngosan.
Alfin menggangguk sebelum akhirnya tersenyum tipis. "Yang kalah bayarin!" teriaknya berlari mendahului Alaya.
Ia menatap cengo pria yang sedang berlari menjauhinya dengan kepala sesekali menatap kearahnya dengan sambil memeletkan lidah.
Ia menggelengkan kepalanya pelan sambil tersenyum tipis. "Dasar," decaknya kemudian berjalan santai mengikuti jejak langkah Alfin.
Baginya tak apa sesekali mentraktir musuh yang sudah membuatnya tertawa hari ini. Meski ada sedikit rasa asing yang singgah saat bersama Alfin membuatnya tak menyangka jika ia akan berteman sedekat ini dengan pria yang sejak awal masuk sekolah sudah menjadi musuhnya itu.
Kadang kita tidak tahu seseorang yang aing berharga dan selalu berada disampingnya kedepannya. Entah itu yang dulunya musuh atau cinta, percayalah orang yang selalu membantu kita kedepannya adalah orang yang tak pernah kita duga sebelumnya.
"Nyasar lo? Lama amat." Alfin bertanya setelah melihat Alaya yang duduk didepannya.
Alaya menatapnya sinis. Ia menatap sekeliling, mereka sedang berada di warung bakso yang memiliki beberapa pengunjung juga beberapa pegawai yang terlihat sibuk menyiapkan beberapa bahan hingga salah satu pegawainya meletakkan dua mangkok bakso bersama dua teh hangat yang sepertinya sudah di pesan Alfin tadi.
"Buruan makan sebelum berubah jadi, mi ayam."
"Mana ada, ogeb!"
Mereka berdua memulai acara makannya. Memberi asupan pada cacing yang sejak tadi sudah berdemo. Merasakan embusan angin dingin malam ini ditemani semangkok makanan kesukaannya juga dilengkapi suara para musisi jalanan yang terdengar begitu merdu.
Secara tak sengaja mulut mereka ikut menyanyikan lagu berjudul Semua Untuk Cinta milik Mike Mohede. Melempar tatapan dan senyum sejenak sebelum akhirnya kembali melanjutkan acara makannya.
=AlayaFobia=
Semua rasa yang ada juga memiliki hak untuk pergi atau singgah. Memiliki hak untuk mengubah semua rasanya. Si pemiliki juga bisa berhak menentukan kepada siapa ia menjatuhkan perasaannya. Tetapi, sekali lagi kita yang memilih cinta yang menentukan.
Entah kebetulan atau takdir, Alaya yang baru saja keluar dari warung bakso tadi, matanya dengan sengaja menyipit memastikan jika orang yang berada beberapa meter di depannya adalah bukan orang yang ia kenal.
Berharap jika ini hanya kesalahan matanya. Tetapi, dugaannya salah. Dua orang yang ia perhatikan lekat-lekat adalah orang yang beberapa jam lalu ia temui. Dua orang yang saling melempar senyum dengan tangan yang saling bersahutan mampu meruntuhkan rasa bahagia yang tercipta dengan mudah.
"Kalau mau pegangan tangan, bilang. Gue akan setia menggenggam tangan lo, bukan karena suka tetapi, takut lo hilang." Tangan Alan menggenggam lembut tangan Ambar membuat gadis itu tersenyum kemenangan saat netranya secara tak sengaja menatap Alaya dan Alfin yang berdiri tak jauh dengan tatapan tertuju padanya.
Saat sedang menatap malas pasangan itu tiba-tiba matanya tertutup oleh telapak tangan dingin seseorang. "Jangan dilihat kalau gak mau sakit hati," ujarnya.
Ia melepaskan tangan Alfin dari matanya berbalik menatap pria itu dengan senyum walau tak dapat dipungkiri jika hati dan matanya sama-sama memanas.
"Balik yuk? Gue udah gak selera," candanya dengan kekehan hambar yang mengundang dengusan dari pria itu.
"Terima kasih untuk hari ini," ujarnya berjalan berdampingan bersama Alfin menuju parkiran.
Ucapan terima kasih ini bu hanya sekadar ucapan biasa atau angin lalu tetapi, bagi Alaya hari ini adalah hari yang benar-benar menyenangkan, ah, tepatnya malam ini meski diakhiri dengan perasaan panas tadi ia mulai melupakan itu dan bertekad untuk tak mendekati pria bernama Alan.
Pria itu hanya diam, melirik gadis di sampingnya tanpa minat. Tangan dinhinnya ia tenggelamkan dalam hangatnya kantong celana menikmati waktu bersama gadis yang tak pernah ia duga sebelumnya bahwa akan menemani malam ini dengan segala bahagia yang tercipta.
=AlayaFobia=
Rasa lelah mungkin sudah tak ia rasakan lagi saat ini. Kembali tinggal di apartment membuatnya harus mandiri dari segala urusan termasuk keuangan.
Setelah melihat tabungan yang kian lama kian menipis gadis yang duduk di balik meja belajar itu mengurut pelipisnya pelan merasa pusing dengan hidupnya yang terlihat santai namun, begitu ribet.
"Fix. Gue harus kerja." Putusnya setelah melihat tabungan dan beberapa catatan yang ia perlukan untuk bertahan hidup.
Ia membuka beberapa buku dan membaca sekilas isi di dalamnya. Hanya membaca tanpa mengingat karena sungguh, ia paling benci disuruh untuk mengingat semuanya. Masa lalu saja sekuat mungkin ia lupakan apalagi ini hanya sebuah kalimat yang tertata rapih dalam buku.
Lagu-lagu Sheila On7 menjadi teman gadis itu malam ini. Lagu yang selalu tepat menggambarkan perasaan serta hatinya. Selain band ini ia juga menyukai beberapa musisi Indonesia lainnya.
Hingga lagu Seberapa Pantas menjadi lagu terakhir yang ia dengar sebelum ngantuk mengambil alih semuanya hingga membuatnya tertidur di atas meja belajarnya dengan lengan sebagai bantal.
=AlayaFobia=
KAMU SEDANG MEMBACA
ALAYAFOBIA
Teen Fiction••END•• Dia, Alaya. Gadis dengan sejuta sikap alay yang melekat dalam dirinya. Sikapnya itu membuat dirinya terkenal dalam waktu singkat. Dia, Alan. Cowok yang sangat alergi dengan sikap alay Alaya. Jika bertemu ia lebih memilih menghindar, berhadap...