AlayaFobia 08 - Dendam Bola Basket

35 10 1
                                    

Masih mending beda agama, daripada beda perasaan?

- Alfin

=AlayaFobia=

Rasa kecewa lebih besar selain pada diri sendiri rupanya bukanlah kecewa yang lebih besar. Perasaan kecewa itu akan hadir saat kita mengharapkan bahwa orang yang memiliki peran penting dalam hidup ternyata tak sepenting itu menaruh rasa percayanya.

Patah hati juga rasa kesedihan begitu besar setelah kecewa. Dan hari ini, untuk pertama kalinya perasaan Alaya lebih mengarah pada atensi itu. Ia memiliki perasaan yang sangat buruk hari ini, seperti sebuah rasa kecewa atau patah hati. Dirinya hanya bisa pasrah dan mengatur napasnya menatap Alan yang berjaln menuju papan tulis.

Alan berdiri di depan kelas. Pria itu meminta Alaya dan Ambar maju ke depan. Membuat anak kelas bingung menatapnya.

"Kenapa?" tanyanya setelah sampai di samping Alan. Menatap pria itu dengan tatapan bingung.

"Lo suka gue 'kan?" Alaya mengganguk.

"Kalau gitu jadi pacar Alfin, aja."

Mata Alfin melotot lebar, ia berjalan dan berdiri di samping Alaya. Perkataan Alan terlalu sarkas juga dapat menyakiti hayi Alaya. Pria bodoh itu berhasil membuat amarahnya meningkat hanya dengan satu kalimat.

"Maksud lo?"

"Kalian pacaran ajalah, gue tahu lo suka Ambar dan Alaya suka gue. Jadi, kalian pacaran aja daripada ganggu rencana balikan gue sama Ambar."

Deg.

Alaya melangkah maju menatap Alan dengan senyum yang mengembang serta sorot mata yang sulit diartikan. "Gue tahu lo benci gue. Lo juga tahu, ah, bahkan seluruh semesta tahu jika gie mencintai lo. Tapi, bukan berarti lo bebas nentuin dengan siapa gue kedepannya. Lo bukan Tuhan atau orang yang berperan sangat penting dalam hidup gue sehingga gue harus nurut sama lo." Nadanya terdengar datar namun sarat akan peringatan. Melangkah ke samping di mana Ambar berdiri menatapnya dengan senyum kemenangan seketika membuat ia muak. "Dan lo, selamat atas permainan yang selalu dan selalu saja berhasil lo lakuin dalam hidup gue. Awalnya gue berpikir kalau itu takdir dan cuman kebetulan bayangan lo di sana tetapi, semakin lama otak gue berfungsi layaknya manusia normal. Hidup lo mungkin gak penuh warna makannya lo mainin hidup orang lain," sinisnya.

Plakk!

Ambar yang geram melangkah maju. Tanpa aba-aba tamparan keras ia layangkan pada Alaya. Gadis itu bahkan tak merasa kesakitan saat semua orang menatap mereka terkejut.

"Jaga ucapan lo atau gue ungkapin semua perbuatan lo, pembunuh!" bisiknya tersenyum sinis menatap Alaya yang menatap kosong kearahnya dengan tangan mengepal erat.

Plakk!

Plakk!

Ia menampar gadis yang menamparnya tadi bukan sekali tetapi dua kali yang membuat semua murid bersorak heboh. Ia menatap Alan dengan pandangan benci.

"Lo tahu, kalau kita beda keyakinan, Lan," sanggah Alaya.

Alan tak perduli, ia memfokuskan tatapannya pada Ambar yang memegang kedua pipinya yang merah akibat tamparan keras Alaya. Ia bersumpah akan membuat gadis itu merasakan enaknya makanan rumah sakit suatu saat nanti.

"Daripada beda perasaan," sahut Alfin santai menatap Alan tajam karena sudah berani memerintah perasaan sesukanya.

"Gue gak mau, Fin." Ia menggeleng menahan rasa sesak dan mata yang mulai memanas. Memohon pada pria itu agar tidak melanjutkan ucapan atau ti dakannya.

ALAYAFOBIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang