Bab 5

2.3K 138 20
                                    

Nindia

Malamnya, mereka makan bersama di restoran hotel. Nindia memesan menu ringan untuk dirinya dan ibu karena mereka masih kenyang habis makan takeaway masakan Thailand sore itu. Harlan Kusuma telah memberi titah dan tidak ada seorangpun berani melawan kemauannya. Ia duduk dengan perasaan tidak nyaman yang semakin lama membuatnya semakin gugup.

Tifani mencoba tersenyum menenangkan pada Nindia maupun ibunya, namun gadis itu tahu bahwa berita ini maupun keputusan Harlan masih menjadi sesuatu yang mengejutkan baginya. Lagi-lagi Wildan duduk di seberang Nindia. Tangannya terulur, menggenggam erat tangan Nindia yang diterimanya karena tidak ingin memancing perhatian lebih lanjut dari orang tua mereka berdua.

"Kamu selalu selengekan, hobi bercanda. Bagaimana papa bisa tahu kalau kali ini kamu serius?" tanya Harlan.

Dalam hati Nindia bersyukur mereka ada di negara asing yang artinya tidak ada yang paham pembicaraan mereka saat ini. Dari luar mungkin mereka terlihat seperti keluarga normal yang menghabiskan waktu bersama seperti biasa di sebuah restoran. Kalau ada yang berbeda mungkin penampilan khas Asia Tenggara yang tidak biasa dijumpai maupun ibunya yang mengenakan kerudung ke mana-mana, menandakan kalau ia seorang Muslim.

Wildan menjawab pertanyaan ayahnya tanpa ragu. "Selama ini Wildan selalu nurut apa kata papa... apa kata mama. Tapi soal Nindia, kalau misalnya papa dan mama nggak merestui, Wildan tetap nggak akan mau putus."

Di luar dugaan Nindia, Harlan tertawa kecil, senyumnya untuk putra semata wayangnya terkesan mencemooh. Tiba-tiba pandangannya terarah pada gadis itu yang buru-buru menunduk.

"Kamu sendiri? Juga suka sama Wildan?" tanyanya tanpa basa-basi.

Kepala gadis itu tertunduk dalam-dalam, tak mampu menjawab pertanyaan ayah Wildan. Kalau saja Nindia gadis yang lebih berprinsip, mungkin ia dengan tegas bakal menolak klaim Wildan dan memberitahu mereka semua kalau perasaan laki-laki itu hanya sepihak saja. Namun gadis itu tahu kalau hal itu tidak benar. Mungkin belum lama, namun perasaannya terhadap Wildan kini perlahan berubah. Kalau dulu ia hanyalah anak majikan yang kadang bisa bersikap seperti teman atau kakak lelaki, kini di mata Nindia Wildan adalah laki-laki yang menarik.

Namun lebih dari itu, Nindia merasa kalau ia menolak Wildan sekarang, bukan hanya hal itu bakal mempermalukan Wildan, namun juga secara tidak langsung papa dan mamanya. Karena siapa sih, Nindia? Berani-beraninya menolak Wildan?

Karena bimbang, Nindia lama tidak menjawab, dan itu ditafsirkan sebagai diamnya perempuan, yang berarti bahwa ia setuju.

"Kalian hidup berdua di sini, di negara bebas tanpa status. Papa gak mau nama baik keluarga kita sampai tercoreng kalau ada teman yang mendengar atau melihat. Kalau kamu benar serius, ya sudah langsung menikah saja..." Lagi-lagi tersenyum seolah meremehkan niat Wildan yang jelas tampak sama kagetnya dengan Nindia, Harlan melanjutkan, "Kecuali kalau ternyata memang seperti dugaan mamamu, kamu nggak serius dan ini cuma satu fase saja yang kapanpun bisa berubah."

"Nggak akan Pah," jawab Wildan cepat." Wildan setuju."

"Pah, jangan gegabah," sergah Tifani.

Harlan menggeleng sambil matanya lekat menatap putranya.

"Anakmu yang minta, Ma. Aku mau lihat sekali saja, sampai di mana Wildan bisa jadi manusia yang bertanggung jawab. Kamu juga jangan perlakukan dia seperti bocah, akibatnya dia jadi manja dan lemah."

Mata Nindia terbelalak, menatap nyalang ke arah Wildan yang menurutnya sudah gila atau kerasukan. Bagaimana mungkin hal sebesar ini bisa diputuskan dalam waktu singkat seolah sambil lalu dipikirkan oleh mereka berdua. Nindia menggeleng, menarik lepas tangannya, namun lagi-lagi Wildan jauh lebih cepat. Anak majikan ibunya itu menarik tangan Nindia, menggenggamnya erat. Ia menatap ayahnya, tersenyum menantang. Nindia mendapati kalau Tifani hanya terpekur di tempat duduknya, tidak tersenyum namun juga tidak tampak kaget, seolah berusaha meresapi apa arti semua ini. Sekali Harlan Kusuma memberikan perintah, maka itulah yang akan dijalankan seluruh keluarga mereka. Baik itu Tifani maupun Wildan tidak memiliki kuasa untuk melawan.

Dish Best Served Cold (His Regret Series #1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang