Dalam Haribaan

19 2 0
                                    

Manyura tidur di pangkuan Biyung Roro. Belaian tangan hangat Biyung Roro di kepalanya adalah hal yang ia suka. Ada perasaan lega dan aman. Belaian itu seolah mengikis rindu yang hadir ketika dirinya berada jauh berbulan-bulan. Manyura memejamkan mata, merasakan suasana rumah yang selalu ia rindukan. Celoteh, gelak tawa, obrolan ringan hingga berat antara Biyung Roro, ayahnya dan Mantra Pandhawa.

Manyura bersyukur, memiliki orangtua yang penuh welas asih. Keempat saudaranya yang tinggal berpencar selalu menyempatkan diri berkumpul setiap dirinya masa demisioner. Masa di mana ia menanti tugas baru setelah menyelesaikan misi. Tidak dapat ditentukan. Biasanya hingga sampai hitungan bulan.

Masih memejam, Manyura membayangkan jika kini suasana ruang keluarga seperti kapal pecah. Bantal angin dan toples-toples berserakan. Letak meja dan kursi tak lagi simetris. Kulit kacang, remah-remah kue kering bertebaran memenuhi ruangan. Ia yakin hanya toples miliknya yang isinya masih utuh. Dari sekian penghuni Tajapuri, hanya Biyung Roro yang sesekali ikut makan cemilan kesukaannya. Keripik pare. Biyung Roro lebih suka keripik talas tawar. Sedangkan ayahnya cenderung menyukai yang manis. Kue kayu apu.

Suara gaduh dan canda tawa membentuk orkestra lain yang menjadi koleksi dalam memori otaknya, selain orkestra alam. Keduanya sama-sama membuat nyaman. Manyura tersenyum, ia mendengarkan Biyung Roro dan ayahnya kewalahan merespon pertanyaan dan pernyataan absurb dari Mantra Pandhawa. Biasanya ia paling heboh dalam hal menciptakan kegaduhan. Akan tetapi kali ini Manyura pura-pura tidur. Berusaha men-save gelak tawa dan mengembalikan pikirannya yang masih rancu akibat kejadian di Desa Mahagoni. Ingatannya langsung melantur pada kejadian itu.

“Saya terima nikah dan kawinnya Arlingga Bestari binti Domari Sukran dengan mas kawin Spiegel Relaskop dan mobil Pajero Sport di bayar tunai.” 

“Bagaimana saksi? Sah?” suara Pak Wasto terdengar samar. Bunyi lonceng dari bandol jam kuno, berdentang-dentang. Kedua jarum jam kuno itu bersatu di angka 12.

“Sah!” sahut beberapa orang. Lainnya hanya saling pandang diikuti gumaman tak jelas.

“Mobil Pajero Sport?” Pak Kades melongo. Bukannya ikut berdoa ia malah heboh sendiri.

Tepat jam 12 malam, Mantra Pandhawa Kedua berubah status. Manyura mengucap ijab dalam satu tarikan napas. Tidak  pernah terbayangkan kalimat sakral itu ia ucapkan sebelum kakaknya. Tanpa  bermaksud melangkahi, tetapi keadaanlah yang memaksa. Sebuah ikrar yang bukan  hanya sekadar janji, tetapi juga sebuah jembatan penghubung pada kehidupan baru yang jalannya masih misteri. Tidak bisa ditentukan oleh  mata angin. Karena tujuannya hanya satu titik. Yaitu muara yang letak dan  luasnya belum diketahui.

Manyura menoleh ke arah Arlingga. Mengulurkan tangan. Arlingga menyambutnya dengan canggung. Mencium punggung tangannya. Rasa hangat seketika  menjalar.  Manyura sadar, bahwa seorang perempuan di hadapannya kini telah membaktikan diri padanya. Ia membahasakan tanggung jawabnya dimulai dari sebuah kecupan di kening. Sebagai simbol penerimaan dan kasih sayang.

Semua berjalan serba cepat. Paginya, ketika dirinya  diantar Pak Wasto ke Desa Luk Salam, Kaisar ternyata telah menunggu di sana. Berdiri di samping mobilnya yang terparkir sejak kemarin. Kakaknya itu tampak khawatir. Walau ini bukan pertama kali bagi Kaisar mengetahui dirinya tersesat.


“Jadi ...?” Kaisar tidak bisa berkata. Ia mangusap wajah kasar tatkala Manyura menceritakan semuanya.

“Sekarang mobil ini bukan punyaku lagi.”

“Jangan bilang ini adalah maharnya.”

“Enggak ada yang lain. Lagipula yang kuberi itu istriku, Kak.”

Kaisar tertawa kecil. Entah apa yang ia tertawakan. Manyura bersyukur kakaknya itu tidak menghakiminya ceroboh. Justru malah mendukungnya. Sebuah tepukan di pundak dan senyum hangat Kaisar adalah buktinya. Kaisar lalu merangkulnya dan berjalan menuju Pak Wasto yang menunggu di dekat mobil yang bukan miliknya lagi.

“Pasti Biyung Roro mencak-mencak dan menyuruh Kakak datang ke sini?”

“Enggak.”

“Hah?! Tumben?” heran Manyura.

“Sifat kamu aku jadikan alasannya.”

“Sifat yang mana nih?”

“Pekerja keras dan tidak mau menyia-nyiakan waktu.” Mereka tergelak bersama. “Lagipula, masa demisioner kamu tidak pasti, kan?” Manyura lega. Ia tidak membuat Tajapuri geger. Kakaknya bisa diandalkan. Beberapa kali saat dirinya tak dapat dihubungi, Kaisar lah yang mencarinya. Atas intruksi Biyung Roro. Dan pasti kakaknya itu tahu seperti apa paniknya Biyung Roro, makanya sekarang berinisiatif mencarinya sendiri.

“Lebih baik kamu pulang sekarang. Pamit sendiri sama Biyung dan Ayah. Aku rasa kamu memang akan benar-benar menginap,” lanjut Kaisar. Ia mengulum senyum.

“Harus, ya, aku bilang sekarang pada mereka? Aku masih belum yakin kalau keputusanku akan dibenarkan.”

Kaisar mendengkus. “Barusan dipuji tidak suka menyia-nyiakan waktu. Nah, sekarang? Emang apa bedanya sih, kamu bilang sekarang dan sebulan lagi? Yang ada, malah akan jadi beban buatmu. Lagipula, sepengatahuanku, Biyung Roro dan Ayah adalah orang paling bijak yang aku kenal. Apa aku salah?

Manyura berkaca-kaca. Matanya terasa pedih. Sebuah timpukan bantal salah sasaran menyadarkannya ia sedang tidak sendirian. Cepat-cepat ia seka lelahan di sudut matanya. Manyura bangkit dan duduk bergelanyut di bahu Biyung Roro. Berharap mata merahnya hanya mereka tangkap sebagai efek bangun tidur, bukan tangis yang tertahan.

Manyura tahu orangtuanya adalah orang paling bijak yang ia kenal, seperti ucapan Kaisar. Andaikan Biyung Roro dan Wurya Sumbaga di sampingnya kemarin, perasaannya akan jauh lebih baik. Akan ada yang menguatkan hatinya. Membela. Mempercayai.  Ia juga akan bilang ke ayahnya, bahwa tugas mencari mantu sudah selesai.

Dengan membulatkan tekad, Manyura siap menanggung risiko atas keputusannya. Entah nanti membuat ayahnya bangga atau malah sebaliknya. Kedua orangtuanya harus segera ia beritahu apa pun keadaannya.

Manyura menatap Kaisar yang juga menatap dan mengangguk padanya. Ada perasaan bersalah yang menyelimuti hati Manyura karena melangkahi kakaknya. Sekarang ia jadi tahu bagaimana perasaan Manggala, si Mantra Pandhawa Kelima saat dulu harus melangkahi empat kakaknya karena sebuah keadaan. Manggala mewakili Mantra Pandhawa melaksanakan wasiat kakek. Hanya saja kasusnya berbeda. Manggala di dampingi orangtua dan direstui semua orang. Sedangkan dirinya?


To Be Continue ....



Mantra Pandhawa Kedua. Copyright©2020, Dewi Ari Ari.

All Rights Reserved | 28 November 2020

Mantra Pandhawa KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang