Bab 12

6.7K 290 32
                                    

***

Rihana tinggal di rumah ibunya untuk sementara waktu. Aku membiarkannya pergi, berharap ia segera menyembuhkan hatinya yang luka akibat perbuatanku padanya. Aku merasa sepi saat awal-awal kepergian istriku.

Lalu, aku minta Desi tinggal di rumahku untuk sekadar mengurus diriku. Bukan hanya itu, kami juga sering menghabiskan malam berdua. Semakin hari rasanya semakin menyenangkan berselingkuh dengan Desi.

"Riris pasti sangat membenci kita, Mas," ujar Desi sambil memegang lembut dadaku. Dia membenamkan kepalanya di sana. Biasanya Rihana-lah yang berkuasa atas diriku. Kini aku biarkan Desi memiliki diriku.

"Riris akan memaklumi. Dia tidak akan cerai denganku karena masalah ini."

Aku membelai rambut Desi kemudian berkata, "Maafkan aku, Des. Aku masih mencintai Riris. Kamu tahu bahwa aku berhubungan intim bersamamu bukan atas dasar cinta melainkan naluriku sebagai lelaki." Kurasakan kepala Desi bergeser.

"Aku mau sedikit cintamu, Mas. Bolehkah?"

"Cintaku hanya untuk Riris."

Setelah kukatakan itu, Desi tidak bicara. Dia menuntun aku melanjutkan percintaan kami. Aku meladeninya sebab sebagai pria, aku pun membutuhkan bantuannya. Paling tidak, perasaan stres yang aku alami bisa berkurang.

***

Aku tidak bekerja di hari Sabtu. Jadi, aku ajak Rihana membawa Uqassya ke rumah. Aku ingin habiskan waktu bersama anak dan istriku. Rihana mengatakan ibunya sakit sehingga tak bisa kemana-mana. Setiap kali aku menghubungi, Rihana selalu saja ada alasan. Aku memandangi Nina yang tampak kesepian.

"Mau jalan-jalan ke mall, Nin? Ayo ikut Om. Di mall ada banyak permainan."

"Mau, Om."

Wajah Nina berseri-seri. Aku menyuruhnya ganti baju. Tak mau suasana canggung, aku juga ajak Desi. Entahlah, semakin Rihana menolak permintaanku semakin aku mengalihkan semua perhatianku ke Desi. Aku merasa bahwa sahabat istriku lebih membutuhkan diriku. Rihana tidak terlalu mengharapkan aku lagi. Aku sudah berjuang meluluhkan hati istriku. Tapi, ujung-ujungnya dia malah mengabaikan diriku.

Timezone sudah agak ramai ketika kami sampai di mal. Namun, tetap saja permainan yang disediakan begitu beragam sehingga tak perlu mengantre bermain. Aku membiarkan Nina memilih, mencoba semua permainan yang ada di sana. Senyum ceria Nina membuat hatiku menghangat. Aku akan sangat senang bila Uqassya menampilkan ekspresi seperti itu.

"Kamu kenapa menangis, Des?"

Aku menoleh ke arah Desi yang sudah berkaca-kaca. Kuusap air matanya yang membasahi pipinya. Apa yang membuat wanita itu menangis saat putrinya baik-baik saja.

"Kamu baik banget, Mas. Mas Irwan bahkan enggak pernah ajak Nina ke tempat ini. Makasih ya, Mas. Meskipun kamu sedang bermasalah dengan istriku. Kamu masih menyempatkan membahagiakan orang lain."

"Tidak usah sedu begitu. Nina sudah kuanggap sebagai putriku sendiri. Kamu harus tetap kuat. Jalan kita masih panjang. Sampai bayi kita lahir, kamu harus siapkan mental."

Desi mengangguk. Aku memintanya ikut bermain. Desi cukup kaku karena jarang ke Timezone. Masa kecilnya sepertinya tidak menyenangkan. Aku mengajarinya seperti mengajari Nina. Bahkan, anaknya jauh lebih pandai mencerna perkataanku. Desi tergelak setiap kali ia melakukan kesalahan. Senyuman Desi meneduhkan. Aku mengamati perutnya yang masih rata. Aku hanya bisa berharap bayi kami tetap sehat di sana.

Dua jam kami bermain di Timezone. Aku agak lelah. Desi melihat bagian "Photoboot". Dengan ragu ia mengatakan ingin menyimpan kenang-kenangan hari ini. Awalnya aku ragu. Tapi, melihat wajah polos Nina membuatku luluh. Kasihan sekali anak itu. Dia butuh kasih sayang dari sosok ayah, yang tak pernah Irwan berikan. Kami berfoto di dalam "Photoboot". Desi terlihat bersemangat menyimpan hasil cetakan foto itu.

"Kita mampir beli es krim yuk!"

Rasanya gerah habis bermain game selama dua jam. Nina gembira saat dengarkan kata es krim dia bertutur, "Hore. Nina mau es krim rasa stroberi, Om!"

Aku mengangguk.
Aku gemas pada Nina. Jadi aku menggendongnya menuju pusat perbelanjaan bahan pokok. Aku minta Desi sekalian beli bahan sehari-hari kami di rumah.

Aku sudah dapatkan es krim untuk Nina saat kulihat Rihana muncul di hadapanku sambil mematung. Aku menurunkan Nina dari gendonganku. Desi menunduk takut untuk sekadar memandangi istriku. Aku keheranan. Bukankah Rihana bilang bahwa ia sibuk mengurus ibunya yang sakit? Apa dia bohong kepadaku.

"Loh, kok kamu bisa di sini, Dek? Bukannya kamu bilang ibu sakit? Kamu bohongi aku?"

Gara-gara dia bohong. Aku tidak punya pilihan selain mengajak Desi dan Nina. Aku bisa saja jala-jalan bersama dia dan putraku.

"Tanpaku, kamu dan Desi makin lengket ya, Mas." Rihana tersenyum kering.

"Kamu jangan mengalihkan topik, Ris! Lagipula, aku ajak Desi karena kamu menolak ajakanku. Sekarang jawab pertanyaanku!"

Bukannya menjawab pertanyaanku. Rihana malah menaruh keranjang belanjaannya di sampingnya. Kemudian mendekat pada Desi dia berseru ke Nina, "Tutup mata kamu, Nina!" Nina memejamkan mata sesuai perintah.

Dan....

Rihana menampar Desi. Dengungan tamparannya sangat keras sampai mengagetkan pengunjung lainnya. "Riris! Apa yang kamu lakukan?!" bentakku. Pramuniaga toko mulai was-was. Beberapa mulai mendekat untuk menenangkan pertengkaran ini.

"Diam kamu, Mas! Sekarang giliranku bicara!"

Nina membuka matanya. Aku tak mau anak itu sedih. Jadi, aku mengambilnya kemudian menutup matanya. Dia tidak boleh tahu apa yang sudah dilakukan oleh Rihana kepada ibunya.

"Ini balasan kamu sama aku, Des? Aku anggap kamu saudara perempuanku. Jujur, aku lebih dekat dengan kamu daripada kakakku. Aku bantu kamu lolos dari Kak Irwan. Aku penuhi kebutuhan kamu. Apa salahku, Des? Aku cuma punya Mas Arkan. Tapi, kenapa kamu merebut dia dariku? Kalian sudah janji tidak akan main belakang lagi. Terus kalian dengan mudahnya melanggar perjanjian itu."

"Maafkan aku, Des."

Desi lebih dulu sesenggukan. Aku mengintip ekspresi istriku. Mukanya merah, lalu setetes cairan bening melompat dari matanya. Segera, Rihana menghapusnya. "Kamu tahu bahwa aku korbankan masa depanku demi Mas Arkan. Aku bisa saja kuliah di kedokteran seandainya aku mau. Dia satu-satunya harta yang paling berharga yang aku miliki. Kamu selingkuh dengan suamiku. Tega kamu lakuin itu sama aku, Des? Tolong, bilang apa salahku sama kamu? Aku sudah memikirkannya berkali-kali tapi aku enggak tahu salahku di mana?"

Aku menitipkan Nina ke salah satu pramuniaga agar bisa menghentikan amarah Rihana. Akulah yang memulai permasahan ini. Jadi, akulah yang akan mengakhirinya.

"Jangan salahkan Desi, Ris. Kami ke sini bukan sedang berkencan. Aku cuma cinta sama kamu, Ris. Kamu sudah salah paham."

"Kamu bilang salah paham, Mas? Kalau aku salah paham, enggak mungkin Desi bisa hamil anak kamu."

Tadinya aku mau bicara baik-baik. Tapi mendengar perkataan Rihana. Aku malah merasa diledeki olehnya. Aku marah dan berseru, "Oke, aku memang berselingkuh. Namun, satu yang perlu kamu tahu, Ris. Kamulah penyebab aku selingkuh. Aku sudah larang kamu bawa Desi ke rumah. Dan kamu enggak mau dengarkan aku. Ini salahmu, Ris! Kamu yang membiarkan orang lain masuk ke kehidupan kita!"

Aku membentaknya lagi. Seketika air mata Rihana bercucuran. Dia tidak bisa membantah pernyataanku. Aku merasa bersalah telah mengatakan bahwa dialah yang bersalah. Rihana bergumam, "Terima kasih atas kejujuran kami, Mas. Kini aku tahu di mana salahku." Rihana pergi.

"Riris!"

Rihana tak menggubrisku. Dia tetap melangkah pergi meninggalkan diriku. Aku tidak mengejarnya. Aku fokus menenangkan Desi dan Nina. Hari ini benar-benar kacau dari yang aku duga.

Instagram: Sastrabisu

Hati yang MenduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang