Bab 9: Menjauh

11.7K 278 13
                                    

☘️☘️☘️

Aku memperhatikan istriku tertidur. Ingatanku tentang masa lalu masih teringat jelas dalam pikiranku. Saat aku dan Desi diam-diam menjalin kasih. Hubungan kami berangsur-angsur bertahan sampai Rihana memergoki aku sedang berbaring di bawah selimut yang sama dengan Desi tanpa sehelai benang.

Aku masih ingat ekspresi Rihana saat itu. Dia membelalakkan mata sambil menutup mulut. Dia tidak bicara apa-apa. Namun, aku tahu dia memendam amarah. Apa lagi yang bisa membuat seseorang murka melihat suaminya berhubungan badan dengan sahabatnya sendiri. Aku tahu aku bajingan.

Meskipun Rihana sudah memberikan aku kesempatan. Tapi, perilakunya berubah. Jiwanya seakan mati. Tak ada lagi ekspresi ceria di wajahnya. Dia tidak menunjukkan reaksi bahagia ketika kami berhubungan intim. Yang paling membuatku sedih, dia tidak lagi antusias bila aku berikan hadiah kesukaannya.

Aku berbaring di sampingnya, menatap wajahnya yang polos saat tertidur. Rihana begitu cantik. Betapa bodohnya diriku telah menduakan istriku. Seharusnya aku tidak melukai hatinya. Sekarang aku tidak tahu cara menebus kesalahanku. Aku mencoba tidur kendati kepalaku masih terasa pening.

Keesokan harinya, aku bangun saat alarm berdering di nakas. Aku bangun dan tidak mendapati Rihana. Jam menunjukkan pukul tujuh pagi. Aku mematikan alarm itu dan menyadari ada memo yang ditulis istriku.

"Mas, sarapan sudah ada di meja. Aku sudah siapkan pakaian kerja, Mas. Pagi ini, aku sedang cari udara segar bersama Uqassya. Maafkan Riris kalau tidak sempat pamit. Tidur Mas sangat nyenyak, Riris enggak mau bangunin Mas." - Rihana

Aku menghela napas panjang. Sebelumnya istriku tidak punya kebiasaan keluar rumah pagi begini. Aku berusaha memaklumi. Dia pasti tengah berdamai dengan hatinya. Aku mencoba berada di posisi Rihana dan kurasa kalau aku yang dikhianati, tentu aku menggila.

Tapi, istriku tidak. Dia terlalu baik untuk sekadar mencampakkan diriku. Dia masih menyiapkan sarapan seperti biasa, melayaniku, dan memperhatikan aku. Membayangkan itu semua, membuatku marah pada diriku sendiri. Tega-teganya aku selingkuh dengan Desi.

Aku turun dari tempat tidur, melihat pakaian kerjaku sudah sangat rapi di di tempat tidur. Kemeja itu baru saja disetrika. Aku bergegas mandi. Aku tidak menyegerakan diri selesai.

Aku sengaja berlama-lama supaya aku bisa melihat istriku sebelum berangkat kerja. Dua jam aku menanti. Namun, Rihana tak kunjung pulang. Aku mengecek barang-barangnya di dalam lemari. Pakaiannya masih ada. Aku meneleponnya, berusaha bersikap seakan rumah tangga tangga kami tak memiliki masalah.

"Halo, Mas. Ada apa?"

Suara istriku terdengar aneh. "Kamu flu, Dek? Suara kamu kenapa? Sepertinya serak. Kamu di mana? Aku mau ketemu kamu sebelum berangkat kerja."

"Aku berada di taman kompleks, Mas. Habis bawa Uqassya jalan. Mas mampir aja liat aku kalau mau."

Suara istriku sangat jelas. Aku merasa bahwa suasana taman itu pasti sangat sepi. "Ya sudah. Aku ke sana sekarang ya."

Aku mematikan panggilan telepon. Kemudian masuk garasi. Perjalan menuju taman kompleks tidak lama karena hanya berkisar seratus meter. Saat mobilku menepi, kulihat Rihana tengah asyik bermain-main dengan putra kami.

Hatiku berdesir, rasanya menyedihkan melihat istriku seorang diri di taman. Akulah satu-satunya teman yang ia miliki kemudian aku mengkhianatinya. Kupikir dia punya teman jogging atau semacamnya. Ternyata tidak ada. Dia benar-benar sendirian.

"Asyik banget main sama Dedek!" seruku.

Rihana mendongak sambil menampilkan sebuah senyuman hangat. Aku menyenyuminya balik. Rihana menepuk bangku di sampingnya, isyarat mengizinkan aku duduk.

Alih-alih memintaku duduk di sisi kanan, istriku justru memintaku duduk di sebelah kiri, yang mana ada Uqassya di tengah kami. Aku mengusir pikiran burukku. Mungkin ini hanya kebetulan.

"Mas pulang jam berapa?" tanya Rihana.

Wajahnya memandangi putra kami. Dia seharusnya memandangi diriku saat berbicara. Aku memegang wajah istriku agar dia melihat ke arahku. Mata Rihana merah, aku merasakan bahwa dia habis menangis.

"Kamu habis menangis, bukan?"

Rihana mengalihkan pandangan ke arah lain. "Iya. Aku menangis karena terharu melihat perkembangan baik Uqassya. Dia beringsut pandai berjalan, Mas. Aku merasa begitu bangga padanya."

Alasannya cukup masuk akal. Aku melirik ke arah putra kami. Uqassya sedang asyik minum susu. Aku merasa bersalah bahwanya aku tidak ikut aktif merawat putra kami. Ini semua karena pekerjaanku yang semakin padat.

"Kamu enggak bohong 'kan, Dek. Mas merasa bahwa kamu menangis karena belum bisa menerima pengkhianatan yang aku lakukan. Sumpah, Dek. Aku tidak cinta sama Desi. Aku cuma khilaf."

"Jangan bahas itu lagi ya, Mas. Masalah itu 'kan sudah diselesaikan. Aku enggak apa-apa."

Aku mengangguk. Kuberikan pelukan serta kecupan di dahi sebelum berangkat kerja. Rihana benar, masalah itu sudah selesai. Itu artinya hanya butuh waktu baginya untuk melupakan masalah itu. Aku cukup lega dalam beberapa saat sampai seminggu berikutnya Desi datang padaku.

"Mas Arkan, Desi hamil."

Desi menyodorkan alat tes kehamilan yang menunjukkan garis positif. Dia meneteskan air mata, merasa bersalah dengan Rihana. Aku mengusap wajahku kasar. Apa reaksi Rihana kalau tahu Desi hamil anakku? Dia bisa saja gugat cerai diriku. Aku menaruh hasil tes kehamilan di atas meja.

"Kamu tahu kalau aku mencintai istriku 'kan, Des?"

Harus bagaimana aku membuat wanita ini mengerti. "Maafkan Desi, Mas. Desi enggak tahu kalau kejadiannya akan begini." Sebelum ketahuan, kami memang sering begituan. Bahkan, pernah suatu hari Desi lupa beli pengaman. Aku terlalu lapar saat itu dan melupakan fakta kalau dia bisa saja hamil kalau aku memaksakan kehendak.

"Zain dan orang tuaku belum mengetahui masalah ini, 'kan?"

Kalau kakakku sudah tahu. Dia akan memisahkan aku dari istriku. "Belum, Mas. Desi baru cerita ke Mas Arkan." Bagus. Kalau seperti ini, aku bisa melancarkan rencana yang ada di pikiranku.

"Aku punya kenalan dokter kandungan. Kita akan gugurkan bayi itu. Kamu enggak masalah 'kan Des? Ini demi kebaikan kita semua. Riris enggak boleh tahu kalau kamu pernah hamil darah dagingku."

Desi mendelik sesaat. Air matanya bergulir membasahi pipinya. Berat hati, dia menyahut, "Iya, Mas. Aku paham kondisi, Mas. Memang cuma itu cara agar semuanya baik-baik saja."

Aku merasakan kesedihan Desi. Bagaimana pun juga, benih itu milikku. Kami akan menghancurkannya demi menyelamatkan kehidupan kami. Aku memberikan Desi pelukan supaya perasaan masygul-nya berkurang. Aku percaya, setelah ini semuanya akan baik-baik saja. Tidak akan ada lagi yang terluka.

"Maafin Desi yang selalu merepotkan Mas Arkan. Setelah bayi ini gugur. Desi janji akan menjauh dari kehidupan, Mas Arkan."

Aku mengusap rambut lurus milik Desi. Kuberikan kecupan di ujung kepalanya sebagai tanda permintaan maafku. "Iya, Des. Terima kasih sudah mau memahami keadaan diriku." Kedepannya, aku berharap semuanya lebih baik.

Instagram: Sastrabisu

Hati yang MenduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang