Bab 19: Cerai

10.3K 427 46
                                    

☘️☘️☘️

"Apa benar saudara memaksa istri Anda melakukan hubungan intim? Kemudian saudara merekam video asusila. Setelah itu, mengancam akan menyebarkan video itu ke publik jika Riris mengadu atau menggugat cerai?"

Pengacara Rihana tahu segala cerita benarnya. Dalam kasus ini, aku memang diberatkan karena akulah yang bersalah. Aku melirik Rihana. Dia masih terisak. Wajah Abi dan Umi pucat, menanggung malu atas perbuatanku. Aku menelan ludah sebelum membenarkan pertanyaan yang diajukan oleh pengacara kepadaku.

"Benar."

"Apakah benar bahwa saudara Arkan pernah mencekik istri Anda saat istri Anda menginginkan perceraian. Kejadian di taman kota, betul?"

Aku mencekik Rihana karena dia mengatakan akan tidur dengan Zain. Aku marah karena itu. Seingat-ku bukan karena dia ingin berpisah dariku. Pertanyaan hakim ini menjatuhkanku. Aku menoleh ke Desi, dan dia menggeleng. Tanda agar aku tak membenarkan pertanyaan itu. Aku memang mau mengelak. Tapi, setelah kupandangi Rihana. Hatiku berdesir. Rihana butuh keadilan.

"Ya, aku mencekiknya."

Aku hanya mengakui mencekiknya. Pengacara menyimpulkan aku mencekik istriku karena dia ingin menggugat cerai. Sidang belum selesai. Aku melihat Abi dan Umi meninggalkan ruang sidang. Aku merasakan kekecewaannya padaku begitu besar. Aku menghela napasku. Inilah saatnya aku hadapi hukumanku.

"Apakah saudara Arkan membenarkan telah berselingkuh dengan sahabat istri Anda yang bernama Desi, sampai wanita itu hamil?"

"Benar. Desi tengah mengandung anakku."

Pengacara itu masih memiliki banyak daftar pertanyaan di kertasnya. Namun, dia menghentikan pertanyaannya. Bagaimana pun juga, dia adalah pengacara sewaan ibuku. Dia tidak akan memberatkan aku lebih jauh. Orang tuaku yang membayarnya untuk membela Rihana. Aku pantas dapatkan yang lebih buruk. Hanya saja, orang-orang terlalu menyayangiku.

Sidang perceraian kami berlangsung tidak sesuai harapanku. Aku menjadi tahanan kota selama lima bulan atas tindakan kasarku terhadap istriku. Artinya, aku tidak boleh keluar dari Jakarta tanpa izin dari pihak kepolisian. Ini bertentangan dengan pekerjaanku sebab sebulan lagi harusnya aku bekerja dan menetap di Makassar. Aku tidak terlalu memusingkan soal pekerjaan. Yang paling menyakitiku adalah aku dan Rihana harus bercerai.

Parahnya, Rihana menuntut mengambil alih rumah kami dan hak asuh terhadap Uqassya. Aku terkejut dari mana dia bisa dapatkan ide gila itu. Pengadilan belum memutuskan. Tapi, kurasa itu membikin suasana semakin sulit. Rihana merusak semua daftar rencana dalam hidupku.

Segalanya berantakan. Aku mesti merancang ulang rencanaku.
Saat sidang selesai, Desi menemui Rihana. Aku belum menyusul karena aku sibuk menyalami panitia sidang. Selain itu, aku mau berkonsultasi ke pengacaraku. Aku menanyakan perihal harta gono-gini. Bagaimana caranya agar tidak ada pihak yang dirugikan mengenai harta benda.

Pengacaraku merekomendasikan untuk menjual aset itu. Jujur, aku tidak bisa. Ada banyak kenangan di sana. Aku tidak mau menghapus kenanganku bersama Rihana dengan mudah di rumah kami. Rumah itu bersejarah buatku. Hasil keringatku. Susah payah aku membangunnya.

Aku keluar dari ruang sidang. Kulihat Riris tengah bersungut-sungut di hadapan istriku, Desi. Keduanya berlinang air mata. Aku mendekati mereka. Entah apa yang Rihana katakan pada sahabatnya. Desi tampak begitu terpukul. Aku memeluk Desi dari samping sehingga Rihana memutar bola matanya.

"Kamu pasti bahagia 'kan, Mas. Desi sudah kamu dapatkan," ujarnya sambil mengelap air matanya.

"Cintaku masih untuk kamu, Dek."

Aku tidak bohong. Aku melihat kalung emas pemberianku terpasang di leher Rihana. Aku menyunggingkan sebuah senyuman hangat. Rihana masih memakai kalung pemberianku. Tampaknya, Rihana menyadari apa yang sedang aku lihat. Dia menarik kasar kalung itu lalu membuangnya ke tempat sampah.

"Apa yang kamu lakukan, Ris?"

Aku terkesiap. Aku baru saja senang melihat kalung itu terpasang di lehernya. Lalu, dengan gampangnya ia membuang benda itu ke tong sampah dekat kami. "Kenapa? Kamu marah, Mas? Harusnya kamu bersyukur kalung mahal itu bisa kamu berikan ke Desi. Bukankah wanita itu senang memungut barang bekas? Mengapa kamu tidak mengambilnya, Des?"

Aku memungut kalung yang ada dalam tempat sampah. "Maafin aku, Ris. Aku tahu aku salah. Aku hanya mengikuti kata hatiku. Perhatian Mas Arkan membuat aku terpesona. Aku menyesal telah mengkhianati kamu."

"Aku muak sama kata-kata kamu, Des. Kalau kamu tahu itu salah kenapa kamu lakukan, Des? Kamu punya dendam sama aku, 'kan? Katakan, Desi? Apa yang sudah aku lakukan sampai kamu benci aku?" Desi terisak. Aku merangkulnya dan mengusap bahu wanita yang kini jadi istri sah-ku itu.

"Sebenarnya siapa yang korban di sini? Teruslah menangis agar Mas Arkan memperhatikanmu. Kamu memang wanita murahan, Desi. Kamu tidak tahu diri. Kamu tidak pantas dapatkan perhatianku!"

Rihana menoleh ke arahku. "Dan buat kamu, Mas. Terima kasih sudah menunjukkan wujud aslimu. Kini aku sadar bahwa kamu bukanlah lelaki terbaik yang aku punya. Kamu sama murahannya dengan Desi."

Rihana yang kukenal tidak begini. Aku mengenal istriku punya perangai lembut. Sementara yang ada di hadapanku adalah wanita yang tidak berperasaan, dan berani. Kurasa semua kesedihannya tertumpahkan di ruang pengadilan. Rihana melipat tangan di depan dada dan berkata, "Aku akan dapatkan kakakmu Zain, yang lebih baik darimu, Mas." Rihana meringis.

Aku merasa marah. Tapi, aku menahannya. Aku mencoba membuat istriku menyerah dengan membalas, "Kamu hanya mengancamku, Ris. Aku kenal dirimu. Kamu tidak berani dekati pria lain selain diriku. Kita sudah lama bersama, Ris. Kamu pikir aku tidak mengerti dirimu? Kau sengaja memancing amarahku."

Rihana tidak membalas. Tangannya mengepal, membuktikan bahwa aku benar tentangnya. "Lihat. Jangan pura-pura tegar di hadapanku, Riris! Aku tahu banyak tentang dirimu. Kamu tidak bisa hidup tanpaku." Rihana mematung saat aku meninggalkannya.

Aku dan Desi pergi ke rumah orang tuaku. Aku memutuskan untuk belajar mencintai Desi. Aku tidak akan biarkan diriku larut dalam kesedihan berpisah dari Rihana. Jika aku tunjukkan kelemahanku maka Rihana akan senang. Aku harus buktikan kalau aku bisa hidup tanpanya. Kuharap aku bisa.

Umi mengurung diri di kamar setelah tahu keputusan pengadilan bahwa aku dan Rihana bercerai. Dia terluka atas perpisahan kami. Umi terlanjur menyukai Rihana sebagai menantunya. Aku mengetuk pintu kamar Umi. Demi membuatnya keluar kamar, aku terpaksa berujar, "Umi tolong jangan kayak anak kecil dong. Sudah punya cucu kok masih merajuk begini. Malu sama umur!" Aku bercanda.

Umi keluar kamar. Beliau menjitak kepalaku karena kesal. Aku membalasnya dengan tawa. "Yang seperti anak-anak itu kamu! Dasar anak durhaka!" ketusnya.

Aku berhenti tertawa. Aku menggenggam tangan Desi dan berkata, "Tolong maafkan aku dan Desi, Umi. Kumohon terimalah kami."

Umi kembali nelangsa. Dia melirik aku dan Desi bergiliran. Setetes air mata membasahi pipinya. "Kamu jahat sekali terhadap Riris, Arkan! Umi enggak percaya kamu Setega ini sama dia. Apa kamu tidak ingat perjuanganmu nikahi dia?"

Aku ingat. Dulu, aku bersikukuh menikahi Rihana meskipun orang tua kami tidak merestui dikarenakan usia kami masih terlalu muda. Aku memohon berkali-kali sampai mereka luluh. Ketakutan mereka akhirnya terjadi. Pada akhirnya, aku sakiti Rihana.

"Maafkan Umi, Desi. Umi belum bisa menerima kamu sebagai menantu. Kamu mengkhianati suami pertamamu. Itu artinya kamu bisa saja melakukan hal yang sama ke Arkan nanti. Entahlah, semua perbuatan kamu dan Arkana membuat Umi tidak bisa berpikir jernih. Kalian berdua bersalah. Maaf Umi belum bisa terima ini semua."

Ibuku menumpahkan isi hatinya. Kemudian masuk ke dalam kamar. Ini perjuangan awalku. Memang tidak mudah. Aku harus membuktikan bahwa aku bisa bahagia tanpa Rihana. Rencanaku menceraikan Desi saat bayi kami lahir sepertinya tinggal kenangan. Aku akan buat Rihana menyesal dengan keputusan bercerai.

Instagram: Sastrabisu

Hati yang MenduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang