Bab 3: Masalah

9.7K 285 2
                                    

🍁🍁🍁

Tadinya kupikir kalau Desi mengajukan pisah dari suaminya maka kehidupan Desi akan bahagia. Namun ternyata tidak. Irwan, suami Desi marah besar, mengamuk, memukuli istrinya tanpa ampun.

Desi membatalkan surat gugatan setelah kejadian itu. Istriku Rihana merasa bersalah telah membuat sahabatnya berada dalam masalah. Rihana memutuskan mengajak Desi tinggal di rumah kami.

"Kita bisa sewa kontrakan buat Desi dan anaknya, Dek."

Aku memberitahu Rihana saat dia mengungkapkan niatnya tersebut. "Desi butuh pertolongan, Mas. Kalau kita biarkan dia di luar sana. Siapa yang tahu apa yang bakal dilakukan Irwan? Dia bisa bunuh Desi, Mas. Setidaknya di rumah ini ada kita."

Aku tidak bisa berkata-kata. Jadi kubiarkan istriku memutuskan.
Desi setuju tinggal di rumah kami asalkan dia bekerja sebagai ART. Dia tidak mau menumpang secara cuma-cuma.

Rihana sudah yakinkan Desi namun wanita itu ngotot pengin bekerja. Kebetulan kami juga butuh tenaga ART, jadi kami menyetujui syarat dari Desi.

"Makasih ya Mas sudah mengerti situasi sahabatku. Aku sudah anggap Desi saudara perempuanku. Aku merasa tenang kalau dia bahagia."

Aku merasa bahwa hubungan persahabatan istriku dengan Desi sangatlah kuat. Mereka benar-benar seperti saudara kandung.

"Kebahagianmu adalah prioritas Mas, Dek." Kami berpelukan malam itu. Kemudian merayakan awal yang baru di kehidupan Desi.

Desi bekerja sangat telaten. Dia membereskan rumah saat suasana masih subuh. Dia membuat sarapan jauh sebelum Rihana bangun. "Kamu butuh istirahat, Des. Jangan paksakan diri bekerja," kata Rihana.

Dia bilang padaku kalau dia merasa tidak enak mempekerjakan sahabatnya. Dia tidak tega menyaksikan Desi membereskan rumah.

"Enggak apa-apa, Ris. Eh, maksudku Nyonya."

Desi gugup, dia belum terbiasa menyebut sahabatnya sendiri dengan panggilan Nyonya. "Plis, Des. Jangan panggil aku Nyonya. Kamu kerja kayak gini aja aku udah enggak sanggup, apalagi kalau kamu panggil aku dengan sebutan Nyonya." Rihana mendekati sahabatnya selagi aku menyantap bakpau buatan Desi.

"Tapi 'kan--."

Ucapan Desi terpotong saat Rihana menggeleng. "Pokoknya, enggak ada yang berubah di antara kita. Kamu tetaplah Desi sahabatku. Lebih baik kamu ajak anak kamu sarapan pagi sama aku dan Mas Arkan."

Desi menatap aku malu-malu.  Dan kesempatan itu aku pergunakan melihat wujud Desi.

Ketika kuperhatikan aku sedikit kasihan. Desi tidak jelek, aku mengatakannya dalam kacamata lelaki. Mengapa suaminya begitu tega menyiksa Desi? Aku bahkan tidak bisa memarahi Rihana saat dia buat kesalahan. Kalau aku marah, kegusaran dalam hatiku hilang setiap kali menyaksikan wajah cantik Rihana. Itulah salah satu kekurangan memiliki istri cantik.

"Ayo gabung sarapan, Des. Tidak usah malu-malu. Anggap rumah sendiri," ujarku.

Desi mengambil duduk di ruang makan, tepat di samping istriku. "Iya, Pak."

Desi kembali melirikku. Aku tidak tahu apa maksud tatapannya namun jujur aku merasa kurang nyaman. Aku berusaha mengusir pikiran aneh yang menggodaku. Jelas aku menyukai Rihana 'kan? Aku tidak bisa membiarkan orang lain menikmati tatapan mataku.

"Nama anakmu siapa, Des?"

Aku mencoba buka obrolan baru. Aku mau kenal lebih jauh mengenai sahabat baik istriku. "Nina, dia berusia 3 tahun," jawabnya singkat.

Dia belum terbiasa dengan lingkungan rumah kami. Aku mengangguk lalu melanjutkan sarapan kami. Rihana mendekati aku lalu menggigit roti di tanganku. Aku mengecup ujung kepala Rihana. Aku masih mengunyah roti dan kuperhatikan Desi mengamati kemesraan kami.

"Kalau pulang kerja, jangan lupa beli martabak lagi ya, Mas. Beli yang banyak biar Desi bisa makan juga."

Aku mengiyakan permintaan istriku dengan sebuah dehaman. Usai sarapan, aku menyapa Uqassya di tempat tidur. Setelah itu, aku benar-benar berangkat kerja.

🍁🍁🍁

Kukira semua baik-baik saja tanpa aku. Nyatanya tidak. Irwan datang ke rumahku, mengamuk seperti yang selalu dia lakukan. Rihana mencoba melindungi Desi hingga jadi sasaran kemarahan Irwan. Kaki Rihana membentuk lebam bekas pukulan.

Aku tidak pernah memukul istriku. Beraninya orang aneh itu menggores kaki mulus Rihana. Aku murka, aku minta nomor telepon Irwan dari Desi. Aku memaksa Irwan datang ke rumah kami.

Waktu dia datang. Aku balas pukuli lelaki itu. Aku belum puas menghantam Irwan, aku berhenti menyiksanya saat kusaksikan istriku sudah payah melerai kami. "Kamu butuh uang berapa? Aku akan kasih uang ke kamu asalkan jangan ganggu keluarga kami. Jangan ganggu Desi lagi."
Aku berteriak. Desi pasrah, dia ingin meninggalkan rumah kami tetapi Rihana menahan sahabatnya.

"Lima puluh juta. Beri aku 50 juta sekarang maka aku akan tinggalkan Desi."

Tabunganku senilai 40 juta rupiah. Kami baru saja bangun rumah sehingga dana kami menipis. Aku pinjam uang kakakku Zain 10 juta kemudian memberikannya ke Irwan.

"Aku berikan kau lima puluh juta. Setelah itu jauhi keluarga kami. Aku akan berikan uangnya besok." Irwan sepakat.

Setelah dia pergi, aku bikin surat perjanjian malam itu. Rencananya aku bakalan suruh Irwan tanda tangan sebelum ambil uang 50 juta kami. Aku sedang mengetik di komputer waktu Rihana mendekat dengan pandangan muram.

"Aku minta maaf, Mas. Gara-gara aku, kamu harus merelakan uang kerja kerasmu."

Uang bukanlah segalanya bagiku tetapi aku bisa membuat keluargaku tenang dengan mereka uangku jatuh ke tangan pria tak bertanggung jawab macam Irwan.

"Jangan bilang gitu, Dek. Aku lakukan semua ini ikhlas. Demi kamu. Berapa pun yang harus kubayar asalkan kau merasa bahagia."

Aku berbisik, kupegangi wajahnya kemudian saling menyatukan bibir.

"Kamu tidur duluan gih. Mas mau selesaikan surat perjanjian ini dulu."

Rihana tidak menurutku kali ini. Dia tegaskan ingin menemani aku sampai surat perjanjiannya selesai. "Mas Arkan mau kopi?" Dia menawariku sambil menyunggingkan senyuman.

"Iya. Mas mau kalau adek maksa bikinin." Rihana mencubit bahuku pelan.

Dia melangkah keluar kamar ketika aku berteriak, "Martabak yang Mas beli masih ada? Kalau bisa bawa martabaknya juga ya."

Istriku mengiyakan lalu menghilang dari kamar kami. Aku melanjutkan ketikan di dalam komputer.

Poin-poin yang aku masukkan dalam surat perjanjian itu di antaranya: Irwan tidak boleh menemui istri maupun anakku entah itu disengaja maupun tidak, Irwan tidak boleh meminta uang lagi kepadaku dan bila dia melanggar dia otomatis bersedia dipenjara, Irwan haram hukumnya melukai istriku, dia tidak diperkenankan berbuat kasar ke Desi maupun putri mereka, Irwan boleh mengunjungi Desi asalkan Desi bersedia.

Aku masih memikirkan beberapa persyaratan kesepakatan kami. Namun kurasa sudah cukup. Surat perjanjian itu telah tercetak namun Rihana belum muncul. Aku keluar dari kamar dan kusaksikan Desi menangis dalam pelukan istriku.

Aku merasa Desi tak enak hati telah melibatkan kami dalam masalah. Ya, seharusnya dia merasa bersalah seperti itu. Gara-gara dia, istriku harus merasakan sakit di kakinya.
Aku tunggu di dalam kamar.

Ketika Rihana sudah masuk kamar aku bilang, "Maaf ya, Dek. Mas cicip kopinya cuma dikit. Pekerjaan Mas sudah selesai soalnya. Mas enggak mau begadang." Rihana memaklumi. Dia duduk di sampingku lalu membaringkan kepalanya di pundakku.

"Kasihan Desi, Mas," lirihnya.

Aku melepas kepalanya dari bahuku. "Kenapa kamu baik banget sih, Dek. Lihat kaki kamu. Gara-gara Desi, kaki kamu jadi bengkak. Aku enggak pernah mukul kamu loh, Dek. Aku enggak terima orang lain memperlakukan kamu kayak gitu. Lain kali jangan tolong orang lagi deh." Aku bersungut-sungut.

"Mas!"

"Udah jangan banyak omong. Kalau kamu baik terus kamu bisa jadi malaikat. Kamu pikirkan diri kamu dulu baru orang lain," tegasku. Aku melangkah mendekati lemari kecil kamar kami. Aku mengambil saleb lalu mengolesi kaki istriku yang lebam. Setelah itu, kami berpelukan, menutup malam kami.

Instagram: Sastrabisu

Hati yang MenduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang