Bab 26

9.6K 398 25
                                    

☘️☘️☘️

"Aku ceraikan kau, Desi Wahyuningsih binti Wardani pada hari Jum'at tanggal 11 Desember dengan talak tiga. Kita akan bertemu di pengadilan agama untuk mengurus proses cerai ini."

Aku memutar rekaman saat aku ucapkan talak di hadapan kedua orang tuaku. Bagaimana pun juga, mereka harus tahu. Aku memilih jujur setelah Zain dan Rihana terbang ke Thailand untuk bulan madu mereka. Keputusan kuambil ini agar mereka tak terbebani oleh masalah rumah tanggaku. Biarlah Rihana berpikir aku bahagia.

"Perceraian bukan mainan, Arkan," kata Abi dengan wajah murung.

Aku melirik ibuku yang sudah terisak sambil istighfar. Beliau sedang marah. Namun, berusaha untuk tidak meluapkannya. Aku biarkan Rihana tinggal di rumah kontrakan sementara aku tinggal di rumah orang tuaku untuk sementara.

Bagaimanapun juga, aku sudah ucapkan talak 3 artinya kalau aku mau rujuk dengan Desi, aku harus menunggu dia menikah lagi lalu bercerai dari pria lain. Membayangkannya saja terdengar seperti permainan. Sudah banyak perceraian yang terjadi dalam kisah ini.

"Apa yang kamu pikirkan saat ucapkan talak itu? Apa kamu pikirkan Rayyan? Anakmu itu masih kecil, Arkan. Memangnya apa masalahnya sampai kamu talak Desi dengan talak 3?"

Aku memperbaiki posisi dudukku dengan wajah bersalah. Abi mungkin benar. Aku bisa saja pertahankan Desi demi Rayyan. Tapi, mau bagaimana lagi, ini sudah terjadi. Aku pun sudah jijik kembali pada Desi. Aku marah atas perbuatannya padaku.

"Desi bermain di belakangku, Abi. Dia tidak mencintai aku. Dia hanya pura-pura mendekatiku demi harta."

Ibuku tersenyum getir lalu menimpali, "Makanya jangan selingkuh! Ini azab buat kamu. Allah sudah kirimkan Riris yang baik. Tapi, kamu tidak puas. Kamu khianati kesetiaan istrimu. Sekarang rasakan! Bagaimana rasanya? Sakit 'kan?"

Ekspresi Umi tampak seperti perpaduan marah dan juga kasihan. Marah karena keputusanku dulu, kemudian kasihan sebab putranya telah memilih perempuan yang salah.
"Masih mau selingkuh?"

"Sudah kapok, Umi."

Masih sempat aku balas pertanyaan bernada murka dari ibuku. Aku semringah supaya suasana di tempat ini tidak larut dalam kesedihan. Bagaimana kamu ini, Arkan! Sudah berbuat salah masih saja nyengir! Aku merutuk dalam hati.

"Jadi, apa keputusan kamu soal Rayyan?"

Aku sudah memikirkan soal itu. Aku merasa keputusanku akan ditentang oleh ibuku. Mengingat sejak awal beliau tak merestui aku bersama dengan Desi.

"Rayyan akan dirawat oleh Desi. Aku akan tetap biayai hidup Desi dan putraku sebagai wujud tanggung jawabku."

Umi menjeling. Dia membalas, "Enak sekali Desi itu. Lebih baik ambil Rayyan. Biarkan Umi yang rawat dia. Desi tidak bisa menjadi istri yang baik. Bagaimana bisa jadi ibu yang baik?"

Sebetulnya aku tak mau merepotkan ibuku. Ini masalah antara aku dan Desi. Kendatipun aku membenci Desi, aku tak mau masa kecil Rayyan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Maksudku, dia masih memerlukan ASI dari Desi. Aku tak mau menyiksa putraku hanya karena aku benci mantan istriku.

"Aku akan bicarakan dengan Desi, Umi."

☘️☘️☘️

Ada yang hilang dari dalam hidupku. Aku merasakannya. Apa lagi? Riris.... Aku berusaha merelakannya, dan kurasa perasaan hampa ini akan segera berakhir. Setiap kali kulihat dia tertawa bersama Zain. Hatiku merasa teduh. Senyumnya lebih manis dari biasanya. Aku merasakan sedih dan senang secara bersamaan saat menyaksikan mereka berdua, seakan aku sedang mengalami gejala bipolar.

Rihana tidak lagi memblokirku di WhatsApp. Aku bisa lihat statusnya setiap hari. Kurasa kami seperti teman lama. Aku bisa komentari statusnya, begitu pun dengan dia. Rihana senang kalau melihat Rayyan masuk dalam story WhatsApp-ku. Lalu aku akan senang goda dia saat ia upload foto mesra bersama Zain.

Hubunganku dan Zain pun baik-baik saja. Memang terdengar aneh.  Namun, inilah kenyataannya. Kami seperti tidak punya masalah sebelumnya. Aku masih fokus melihat kemesraan Zain dan Rihana waktu Umi menghampiriku.

"Lirik foto mantan istri terus. Apa hatimu tidak sakit?"

Aku senyum, menaruh ponsel di meja makan sambil mencicipi teh. Aku memang terang-terangan sering Whatsapp Rihana. Bukan apa-apa, aku tidak ingin orang berpikir kami melakukan hal tidak-tidak. Kadang kalau Zain lagi posesif dengan Rihana. Dia yang akan balas pesan yang kukirim ke Rihana.

"Berhenti ganggu istriku! Dia harus istirahat!"

Zain bukan pria pemarah. Hubungan dia dan Rihana sangat baik. Tak ada pertengkaran, mereka selalu kompak sebagai pasangan suami-istri. "Riris sudah kuanggap teman, Umi. Selama masih ada Uqassya di antara kami, selama itu pula komunikasi kami akan tetap lancar." Kami selalu utamakan kebahagiaan anak kami.

"Ya, baguslah kami masih ingat putramu."

Umi mengambil napas sebelum akhirnya memintaku mengantarnya bertemu dengan rekan lamanya di sebuah kafe. Teman lama Umi bernama Zahra. Kelihatannya dia dekat dengan ibuku karena mereka terlihat begitu akrab ketika bertemu. Aku mengenalkan diriku pada Tante Zahra.

"Nak Arkan sudah punya dambaan hati baru 'kah?"

Hampir saja aku menumpahkan kopi yang sudah ada di dalam mulutku ketika Tante Zahra bertanya. Pertanyaan wanita itu membuatku penasaran mengenai maksud dan tujuannya. Sebab dia membawa putrinya yang cantik dengan kulit cerah.

"Belum juga cerai, Tante. Sudah tanyakan pengganti."

Aku masih sibuk mengurus  perpisahan dengan Desi. Ada-ada saja Umi dan temannya ini. Aku masih dalam proses cerai, dan Umi sudah carikan aku istri baru. Aku melirik gadis bernama Intan di hadapanku. Setelah kuamati, dia seperti fotokopi Rihana. Wajah polos, cantik, dan berhijab. Intan masih menunduk malu gara-gara pertanyaan ibunya padaku. Ya Allah, semoga dia tidak suka aku. Dia akan dapat zonk kalau bersamaku.

"Intan juga belum punya pacar 'kan ya?" tanya Umi.

Tante Zahra membenarkan. Umi semakin mengompori kami berdua. Sudah tahu kalau aku pernah gagal dua kali. Masih saja dicarikan pendamping. Aku belum siap menikah lagi. Takut permainkan hati anak orang. 

"Aduh tante pengin banget punya menantu kayak Intan. Manis dan sholeha."

Umi kembali memberi kode. Alamak, Umi ini kenapa ya? Aku menggerutu dalam hati. Lihatlah sekarang, bahkan Tante Zahra juga ikut menggoda kami dengan berujar, "Aku pun mau punya menantu setampan Arkana." Lalu Umi mulai mengusulkan perjodohan ini. Pipi Intan terlihat merah. Kamu baru saja terperangkap oleh bentuk visual, Intan!

"Memangnya Tante mau punya menantu seperti aku? Aku banyak keburukannya loh. Ada riwayat sebagai tahanan polisi."

Tante Zahra merenung. Terlihat tampak terkejut dengan kata-kataku. Umi menyela, "Cuma tahanan kota kok. Ada kesalahpahaman sama mantan istrinya. Maklum masalah rumah tangga."

Umi meyakinkan Tante Zahra kalau aku sebuah matahari, yang mana jika putri wanita itu menikah dengan aku maka tak akan terjadi penyesalan. Aku membiarkan Umi melakukan itu sehingga pertemuan hari ini berlangsung sesuai yang ibuku harapkan.

Instagram: Sastrabisu

Dua bab lagi. Apakah perlu aku kembangin babnya jadi 20 bab lagi? Atau tetap mentok di bab 28 tamat? Jawabannya dong.

Hati yang MenduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang