📝Tersesat?📝
"Kita di mana, Dav? Kita tersesat?" Ayyara reflek menjatuhkan kayu yang sedari tadi dipeluknya dengan erat. David terkejut melihat ranting kayu yang baru saja Ayyara jatuhkan.
"Eh! Lu masih inget aja dengan kayunya? Haha astaga, Ayyara! Padahal kita udah lari pontang-panting, Woy!" David tertawa melihat tumpukan ranting kayu di bawah kaki Ayyara.
"Ya, gimana? Gue panik banget." Ayyara hampir menangis.
"Ya enggak usah nangis, dih. Kita enggak bakal tersesat." David berusaha menenangkan Ayyara.
"Gue haus," ucap Ayyara seraya menghapus air matanya yang sudah merembes.
"Kita cari sungai nanti, ya!"
"Gue mau minum. Bukan berenang!" Ayyara mengerutkan keningnya.
"Yaelah kira-kira, Ra, kita di hutan. Yakali di hutan ada warung es." Lagi-lagi David mencandai Ayyara.
"Maksud lu? Kita minum air sungai?" Ayyara tercekat. David mengangguk sambil tersenyum. "Enggak! Enggak!" tolak Ayyara sambil menggelengkan kepalanya.
"Jadi lu enggak pengen minum lagi?"
"Ayo pulang, Dav. Mama! Ayyara mau pulang! Huwaaaaaa!" Ayyara menumpahkan air matanya. Ia menangis sekuat-kuatnya.
"Yaelah, nangis lagi. Aduh," David berbisik. "Udah jangan nangis, ya! Ada gue di sini." David menepuk bahu Ayyara.
"Nanti kalo enggak bisa pulang gimana? Hueee hiks hiks." Ayyara menangis semakin kencang. David tahu Ayyara sangat panik. David terdiam dan hanya menepuk bahu Ayyara yang bergetar.
"Shhh~ kita enggak bakal tersesat. Kita cari jalan keluar. Ayo!" David menggenggam tangan Ayyara.
"Baru ini gue di kejer babi hutan," keluhan Ayyara lagi-lagi meluncur dari bibir mungilnya.
"Ya sama aja kali, kan ke hutannya juga sesekali doang." David membantu menarik Ayyara melewati akar pohon. "Lu kalo panik lucu, Ra. Kagak inget akhirat." David terbahak-bahak setelah itu.
"Enggak lucu, ih!" Ayyara memukul David. "Kita di mana, sih?" tanya Ayyara dijawab gelengan kepala David.
"Ikutin filing aja, Ra. Semoga yang lain nyari kita setelah sadar kalo kita ilang." Ayyara semakin tidak tenang mendengar jawaban David.
"Lu kenapa, Ra?" David menghentikan langkahnya. Ditatapnya Ayyara dengan seksama.
"Enggak papa," Ayyara mengelak. Padahal dia berjalan cukup pelan dan terus menggenggam lengan David, bahkan sesekali meremas tangan David membuat David sadar ada sesuatu yang salah dengan Ayyara.
"Enggak biasanya." David langsung memeriksa keadaan Ayyara. Memegang pipi dan kening Ayyara, mungkin maksud David begitu karena David takut Ayyara sawan babi.
"Lu enggak kesambet kan, ya?" lanjut David sambil memeriksa Ayyara dari kepala sampai kaki.
"Enggak apa-apa gue tuh." Ayyara merasa dirinya baik-baik saja.
"Ra?" Panggil David.
"Iya?" Ayyara menatap David dengan heran.
"Kaki lu berdarah banyak banget! Tenang! Jangan panik!" David segera berjongkok. Disingkapnya celana trening Ayyara yang sudah terkena rembesan darah di kaki kanannya. Benar saja, kaki Ayyara terluka.
"Aduh, harus gimana gue? Aduh yang daun mana nih yang obat? Diiket nih harusnya, ya? Pake apaan dah? Ra, lu jangan pingsan ya. Gue enggak bisa ngasih darah buatan." David panik sementara darah segar di kaki Ayyara masih menetes.
"Lu yang tadi bilang gue jangan panik, tapi lu sendiri panik banget." Ayyara masih berdiri dengan tenang meskipun dia sedikit terkejut dengan luka di betisnya. Rasa panik dikejar babi tadi bisa mengalahkan rasa sakit, itu benar bagi Gea Ayyara.
David menyobek baju dalamnya. Kemudian mengikat kaki Ayyara. Ayyara meringis.
"Maaf ya, Ra. Sakit ya?" David kembali berdiri setelah selesai memperban kaki Ayyara dengan sobekan bajunya. Ayyara hanya menggeleng. David kembali menuntun Ayyara. Lama mereka berjalan tanpa arah.
Pohon-pohon besar dan akar-akar tanaman yang timbul dari tanah seolah tak asing lagi bagi mereka. Semak belukar dan rumput-rumputan yang mungkin bisa saja mejadi sarang hewan buas mereka lewati dengan perasaan tidak tenang. Ayyara sesekali meringis menahan ngilu di kakinya.
"Lu masih kuat, Ra?"
"Kuat." Suara Ayyara lemah.
"Ayo gue gendong aja." David berjongkok di depan Ayyara. Ayyara tercekat.
"Enggak apa-apa. Gue masih kuat, Dav." Ayyara mencoba menolak.
"Naik, Ra!" David menegaskan suaranya. Ayyara menurut.
"Maaf, gue berat," Ayyara memelas. David tersenyum sekilas.
"Berat gimana, sih? Orang bogel, kurus cungkring gini," ejek David.
"Ih! apaan deh!" Ayyara berdecih. David terus berjalan. Terkadang sedikit kesulitan ketika menemukan jalan berundak-undak.
"Jam berapa ini? Kok kayak enggak ada tanda kita bakal dicariin sih?" Ayyara kembali bercicit di balik punggung David. David hanya diam. Mungkin David juga mulai khawatir.
"Ra, lu liat orang di depan sana enggak?" David menunjuk bayangan jauh di depan mereka. Sekitar seratus meter dari arah mereka berdiri.
"Iya liat, Dav."
"Syukur lah."
"Kenapa?"
"Berarti bukan dedemoy."
"Dedemit maksud lu?"
"Heh kalo ngomong dijaga ya. Di hutan enggak boleh ngomongnya sembarangan. Apa lagi ini tempat enggak pernah lu kenal sebelumnya. Minta maaf sana lu," titah David.
"Yaampun masa iya, Dav? Jangan nakutin gue kenapa, sih." Ayyara mengeratkan pegangannya pada leher David.
"Yeuuu bocah enggak percaya amat dibilangin orang tua."
"Maap ya, mbah. Maap semua yang ada di sini." Suara Ayyara bergetar. David berusaha menahan tawanya.
"Kita samperin orang itu, yuk! Mana tau bisa nolong," ide David.
"Kalo bukan manusia gimana?" Ayyara menegang.
"Tinggal lari lagi." David berjalan mendekati 'orang' yang dilihatnya tadi. Semakin dekat. Jantung Ayyara semakin berdebar tak menentu. Dari dekat semakin jelas bahwa itu adalah manusia. Hanya saja Ayyara sedikit gusar dengan apa yang dibawa orang tersebut.
"Orangnya bawa parang, Dav. Hiks hiks." Ayyara tidak bisa menyembunyikan rasa takutnya. Akhirnya Ayyara menangis lagi. Dia memeluk leher David dengan erat. Kaki kecilnya yang terluka meronta mencoba untuk turun dan lepas dari cengkraman tangan David. Dan kemudian Ayyara ingin berlari.
"Ayo balik lagi, hueee." Ayyara semakin bergetar. Semakin dekat. Tinggal beberapa langkah.
"Permisi!" David memberanikan diri. Ayyara menegang.
"Ya?" jawab orang itu. Seorang laki-laki paruh baya. Terkejut dengan kehadiran Ayyara dan David.
"Loh, kalian ngapain dihutan?" tanya seseorang yang ternyata lelaki pencari rotan.
"Kami tersesat, Pak. Ini teman saya terluka karena tadi kami dikejar Babs hut's," kata David. Lelaki itu mengerutkan dahi tak mengerti kata-kata David.
"Babi hutan, pak." Ayyara turun dari punggung David.
"Astaga! untung kalian bisa menghindar. Kalian anak-anak yang kemping dari sekolah kota itu, ya?" tanya bapak itu.
"Benar. Bapak tau?" Ayyara sumringah.
'Sepercik cahaya kehidupan menyinari masa depan Ayyara yang hampir terlunta-lunta di tengah hutan rimba yang penuh bahaya ini,' batin Ayyara.
"Ya. Saya warga dari sekitar bumi perkemahan itu. Ayo! saya antar kembali," tawar Bapak itu sambil menggendong rotannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hy School: Love Me, Please! [Sudah Terbit]
Teen FictionSekolah seharusnya menjadi tempat paling menyenangkan untuk para remaja, bukan? Masa di mana mulai mengenal cinta, cita-cita, pengenalan jati diri, harapan, romantisme dan drama. Masa sekolah tentu menjadi sejarah besar dalam hidup kita. Sumber insp...