Waktu menunjukan pukul 17.30 petang. Itu artinya mobil yang dikendarai dua insan manusia yang tidak luput dari dosa itu telah melaju hampir sekitar 2 jam lamanya. Tapi bukannya menemukan tujuan akhir, keduanya sepertinya malah semakin dibuat kebingungan.
Bagaimana mereka tidak bingung, menurut GPS, alat pelacak yang mereka pasang pada Felix justru malah menuntun mereka semakin masuk ke dalam hutan dengan jalan mobil yang sempit dan tidak mulus. Ditambah beberapa semak yang tumbuh di sepanjang jalan juga semakin mempersempit jalanan yang ada.
"Le, ini kita gak nyasar, kan? Kok masuk hutan gini sih." Ujar Jeno selaku pengemudi mobil.
Chenle, satu-satunya penumpang itu hanya bisa merotasikan sepasang manik cokelatnya jengah. Dia bosan menanggapi pertanyaan Jeno yang sudah ditanyakan selama 34 kali sejak mereka mulai memasuki hutan.
"Bener kok, kak. Udah gak usah ngomel terus, fokus aja ke jalanan, hanya jalanan yang ada." Timpal Chenle dengan sisa kesabaran yang masih dia punya.
Jeno hanya mendecih, kesal dengan jalanan dan juga Chenle yang sepertinya santai saja, padahal mereka mulai semakin masuk ke dalam hutan. Tapi apa kata Chenle juga benar, mengomel tidak akan membuat dirinya kaya raya ataupun sampai tujuan dengan cepat. Itu hanya menguras tenaganya saja.
Tiba-tiba panggilan masuk ke ponsel yang tengah dipegang Chenle dan menunjukan nama Mark. Tanpa perlu ba-bi-bu lagi, dia segera mengangkat panggilan masuk itu.
"Halo, kak?"
"Halo? Le, mobil kita ada sekitar 9km di belakang kalian. Tapi kok ini masuk hutan ya? Arahnya bener, kan?"
"Bener kok, cuma emang alat pelacaknya ngarahin kita kesini, kak. Gak tahu deh bakal dimana dan kayak gimana lokasi akhirnya. Mungkin gua?"
"Disini, dan itu bukan gua." Timpal Jeno, bersamaan dengan berhentinya mesin mobil.
Chenle sontak mengalihkan pandangannya ke depan, melihat lokasi akhirnya dan ternyata tebakannya benar-benar melenceng jauh.
Chenle masih fokus ke arah depan, dengan panggilan telepon yang masih tersambung. "Kak, gue udah nyampe. Nanti gue send foto tempatnya." Setelah itu, dia mengakhiri panggilan secara sepihak.
Sekarang, maupun Chenle ataupun Jeno masih menganga melihat tempat yang ditunjukan alat pelacak pada Felix. Itu bukan gua seperti tebakan Chenle, melainkan sebuah rumah bertingkat.
Sebenarnya ini hanya sebuah rumah biasa dengan nuansa hitam putih yang temboknya terbuat dari setengah kayu. Banyak jendela yang masing-masing hanya tertutup oleh sehelai tirai transparan, rumah ini juga memiliki halaman yang luas walaupun tidak terawat. Terbukti dengan banyaknya rumput liar di halaman tersebut.
Tapi, yang menarik perhatian adalah keberadaan pohon beringin besar di halaman itu, lengkap dengan ayunan yang terbuat dari ban bekas. Bukannya ini mengingatkan kita dengan film the counjuring?
Harus Chenle dan Jeno akui, kini keduanya cukup merinding dengan hanya melihat penampakan rumah di depan. Seharusnya rumah ini akan biasa-biasa saja jika terletak di sekitaran wilayah yang ramai penduduk, tapi jika letaknya di tengah hutan begini kan jadinya merinding.
"Gue gak mau masuk." Ujar Jeno refleks.
Sontak perkataannya barusan berhasil dihadiahi satu dorongan keras dari Chenle yang duduk di sampingnya.
"Apaan sih, kak. Laki bukan sih? Gue juga gak mau masuk tau."
Lihat siapa yang bicara. Padahal mobil mereka parkir cukup jauh dari rumah itu, ya jaga-jaga jika saja Han mungkin akan langsung menyerang mereka jika parkir di halaman runah. Tapi tetap saja suasananya merinding.
KAMU SEDANG MEMBACA
[0.1] BAD DREAM | NCT DREAM ✓
FanfictionStarting from the nightmare and it slowly become a dangerous terror. In real life. ©elsanursyafira, 2020