Arc Konflik Internal - V. Sang Tokoh Utama

213 41 0
                                    

Aku memperhatikan dengan saksama sambil berdiri. Mata yang emas, dengan pandangan yang lembut. Lalu rambut perak mengilap di tengah cahaya matahari

Dia benar-benar bocah yang kutemui dua tahun lalu! Padahal Istana Selatan jauh dari Istana Utara. Sekarang dia nggak menangis lagi ya meski tersesat?

"Apa kau tersesat?"

Bocah itu yang masih terbaring di atas rumput justru tersenyum saat aku bertanya. Ugh, masih silau seperti dulu. Sulit dipercaya kalau dia masih bocah. Sekarang setelah dipikir-pikir, mungkin bocah ini seumuran dengan Cain?

Aku mengulurkan tangan. Bermaksud hendak membantunya berdiri. Tapi apa bocah ini bakal mengerti maksudku ya, soalnya dia malah mematung?

"Sini, pegang tanganku."

Bocah itu langsung meraihnya. Uwah, caranya meraih tanganku sangat lembut, tangannya juga sangat halus, tapi bocah memang harusnya dipenuhi dengan kepolosan begini kan ya.

Kalau di novel, siapa nama anak ini ya? Hm... Ada banyak karakter yang digambarkan bermata emas dan berambut perak sih. Tapi sering melihatnya disini, dia pasti bangsawan kelas atas kan ya.

Huh, apa itu merah-merah di kakinya?

"Kakimu berdarah?"

Ah! Jangan-jangan ini karena dia menabrakku tadi!

"Saya tidak apa-apa." gelengnya masih memandangku.

Aku tersentak. Wah, padahal hanya beberapa tahun tapi sifatnya sudah berbeda begini ya. Aku penasaran apa bocah ini ingat aku? Ya, aku nggak menyalahkannya sih kalau dia nggak ingat.

Aku selalu dipaksa Ruli untuk membawa penutup luka. Katanya ini sudah dilengkapi sihir. Aku jongkok. Kalau gini tinggal ku tempelkan saja kan?

"Ah, apa yang Anda lakukan. Saya tidak apa-apa." tolaknya halus.

Kenapa bisa-bisanya bocah ini diciptakan selembut dan sedewasa ini ya. Menangis saja dong, lakukan kayak dulu.

Tapi aku nggak bisa protes sih tentang kedewasaan seorang bocah, aku yang lima tahun di dunia nyata saat itu malah sudah terbiasa membunuh beberapa orang. Yang terpenting memang lingkungan dimana kau dibesarkan, bukan?

"Saya tidak bisa membiarkan seseorang terluka di tempat ini." ucapku tiba-tiba ikut menggunakan bahasa formal.

Ya, diam dulu, aku nggak mau disalahkan karena lukamu.

Aku mengambil tempelan penutup luka dari Ruli dan menempelkannya di pergelangan kaki bocah itu. Dalam seketika luka itu perlahan memudar.

Wah... Sihir memang luar biasa.

"Bagaimana perasaanmu?" aku berdiri dan menghempaskan debu dari gaun yang kupakai. Semoga rasa sakitnya hilang. Dia nggak bakal melaporkan aku yang menyusup kan? Bakal bahaya kalau sampai Raja—

"Saya menyukai Anda."

??????????

"...ya? Apa?" aku tidak bisa memasang ekspresi lain kecuali terkejut setelah mendengarnya.

Apa yang bocah ini katakan saat aku bertanya tentang lukanya??

"Tapi Anda menanyakan perasaan saya?" dia menunjukkan wajah polos bertanya.

"Maksudku lukamu..."

"Oh, saya merasa baikan."

Ya. Itu memang jawaban yang harusnya kau katakan dari tadi. Aku menatap mata bocah itu. Dia nggak bakal mengatakan apapun soal pertemuan ini kan? Apa aku bisa mempercayainya?

"Siapa namamu?" tanyaku.

Lebih baik langsung memastikannya saja.

"Saya Niels."

Niels? Hm....

Ini juga nama yang nggak asing. Dimana ya pernah dengar?

HAH!!!??

Maksudnya Niels Axelsen yang bakal menjadi rival Cain gitu!??!

Wah, wah.... tokoh utama pria memang seharusnya begini dong. Aku memang tahu dia bukan tokoh sembarangan, tapi siapa tahu kalau ternyata Niels dalam cerita sering mengunjungi istana tempat Cain tinggal. Penulisnya nggak menjelaskan hal ini sama sekali loh.

"Niels, apa kau bisa berjanji untuk merahasiakan pertemuan kita?"

"Rahasia?" dia balik bertanya dengan wajah polosnya. "Baiklah kalau itu mau Anda."

Oh, aku senang dia tidak menanyakan alasannya. Kalau anak ini bisa dipercaya, maka aku nggak perlu khawatir dia bakal menceritakan kejadian ini. Seenggaknya Niels dalam novel bukan seorang pembohong kan?

Teng... Teng... Teng...

Suara bel?! Apa ini sudah tengah hari?? Ruli pasti bakal kembali. Kenapa waktu bisa berjalan secepat ini!

Aku panik, langsung membenarkan sepatuku. Neils hanya memandangku yang tampak terburu-buru. Aku senang dia tidak bertanya kenapa aku begini.

Oh, aku harus berpamitan dengan benar bukan? Seenggaknya aku nggak boleh mempermalukan pelayan keluarga kerajaan.

"Kalau begitu aku permisi." ucapku kemudian berlari tergesa-gesa.

"Tunggu..."

Aku merasa bocah itu memanggilku. Tapi dia bakal baik-baik saja kan ya? Agh! Memangnya ini waktu yang tepat buat memikirkan orang lain!!!

Ruli jangan kembali ke kamarku dengan cepat!!!

***

11.12.20

I'm not A Princess, But...Where stories live. Discover now