Menyerah?

745 54 0
                                    

Kurang beberapa part menuju ending :)
   
              Happy reading ❤️

Levin dengan telaten menyuapi ayra bubur, jangan traveling terlalu jauh ya. Jika gadis itu tidak sakit, mana mungkin Levin mau repot-repot menyuapi bayi besar. Padahal tadi Levin ingin sekali menemui Bianca untuk meminta maaf.

"Minum dulu."

Dengan cekatan, Levin memberikan Ayra minum. Gadis itu terlihat pucat, bagaimana tidak pucat sejak pagi Ayra belum memakan apapun.

"Vin." panggil Ayra.

Levin masih sibuk menyuapi Ayra, hanya menatap Ayra sekilas.

"Apa kita enggak bisa kembali?" sejujurnya, Ayra masih sangat menginginkan Levin. Namun, sikap Levin selama ini sudah cukup menjadi jawaban jika laki laki itu tidak lagi memiliki rasa yang sama.

Levin meletakkan mangkuk bubur yang sudah kosong.

"Lo udah tau jawabannya." Levin tidak akan kembali mengulang luka yang sudah kering, baginya Ayra adalah masa lalu. Masa lalu tidak untuk di lupakan, cukup di kenang.

Ayra mengangguk paham, ada rasa sakit saat Levin tidak mau kembali padanya.

"Tapi aku masih sayang banget sama kamu, kamu tau kan?"

kedua mata Ayra sudah sembab, Levin berdecak sebal. Levin paling tidak suka jika ada wanita menangis apalagi karena dirinya.

"Gue tau lo masih sayang sama gue, tapi semua udah beda," Levin merapikan rambut Ayra dengan telaten. Sejenak Levin menyadari jika Ayra tetaplah masa lalu yang sudah menjadi mantan.

Ayra meraih tangan Levin, lalu menggenggam erat.

"Jangan tinggalin aku." pinta Ayra, katakan saja jika Ayra belum move on. Tapi memang begitu kenyataannya.

Levin mengangguk patuh, tidak akan meninggalkan bukan berarti harus kembali. Mereka masih bisa menjadi sahabat, bukankah kedewasaan seseorang saat bisa berteman baik dengan mantan?

Levin menghela nafas pelan, takut jika Ayra akan salah paham.

"Gue nggak akan tinggalin lo Ay, gue tetep jadi Levin yang dulu."

Ayra tersenyum sumringah, dengan cepat gadis itu memeluk Levin dengan erat. Semua itu Ayra lakukan dengan satu alasan, sejak tadi Bianca melihat Ayra dan Levin dari luar UKS.
Batin Ayra bersorak senang, saat melihat kegelisahan di wajah Bianca.

"Janji?"

Levin tersenyum.

"Janji."

Sementara itu, Bianca hampir masuk kedalam UKS untuk memaki Levin dan Ayra. Bisa bisanya mereka berpelukan di saat dirinya meratapi nasib.

Bianca pergi menjauh dari UKS, rasanya sudah tidak ada kesempatan untuk memiliki Levin. Mungkin benar, kali ini Bianca harus sadar bukan sabar.

"Bego banget sih gue, kenapa enggak pernah mikir sejauh ini. Padahal dari dulu Levin enggak ada tanda tanda suka sama gue,"

Bianca memilih masuk kedalam perpustakaan, hanya disini Bianca bisa menemukan ketenangan.

"Ayo Bianca sadar." Bianca akan memaksa hatinya untuk move on, meskipun sulit tapi Bianca yakin menjauh dari Levin adalah pilihan terbaik yang pernah ia pilih.

"Ngapain?"

Deg

Suara itu, Bianca tidak habis pikir apa saat melupakan seseorang akan mulai berhalusinasi?
Dengan cepat Bianca menoleh, ya Tuhan kenapa halu ini terasa nyata?

"Ngapain diem di tengah jalan, yang lain juga mau belajar!"

Bianca tidak berniat menjawab, gadis itu masih yakin kalau sekarang dirinya sudah mulai berhalusinasi.
Mulai saat ini Bianca tidak akan mengharapkan kehadiran Levin dalam kehidupannya lagi, sudah cukup sakit hatinya. Hidup harus tetap berlanjut meskipun tanpa cinta.

Bang Jago Si Almet Merah ❤️ (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang