Gengsi

720 56 0
                                    

Levin menatap punggung Bianca yang sejak tadi duduk membelakanginya. Gadis itu terlihat begitu tenang, tidak seperti biasanya yang selalu meresahkan. Dalam hati, Levin berharap supaya Bianca banyak bicara karena Levin tidak bisa memulai percakapan terlebih dahulu.
Bianca pun merasa sebaliknya, rasa canggung lebih mendominasi. Kenapa harus canggung, padahal biasanya Bianca selalu senang jika berdekatan dengan Levin.

"Ekhem!"

Bianca terlonjak kaget, bagaimana tidak. Levin malah berdehem dengan keras saat sudah duduk di dekat Bianca.

'Astagfirullah untung jantung gue nggak copot!' pekik Bianca dalam hati.

Levin melirik Bianca yang masih setia dalam diam. Levin inisiatif menarik buku yang di baca oleh Bianca, yaps tindakan Levin sukses membuat Bianca menyadari kehadirannya.

"Kamu mau baca? aku cari buku lagi." tanya Bianca lalu berdiri meninggalkan Levin yang memaki dirinya sendiri.

Setelah mendapatkan buku yang sama, Bianca kembali duduk. Bangku dekat jendela, tidak mungkin gadis itu akan kembali duduk di samping Levin. Hatinya sudah mantap untuk move on.

Saat menyadari Bianca menghindari dirinya, Levin langsung mengembalikan buku yang tadi di rebut dari Bianca, tujuannya ke perpustakaan bukan untuk belajar. Untuk pertama kalinya, Levin ingin berbincang pada Bianca. Namun, sepertinya gadis itu sudah tidak mengejarnya lagi.

Levin memilih keluar dari perpustakaan, ternyata seperti ini rasanya di abaikan.

*****

"Muka kusut, pasti patah hati." cibir Bagas. Pasalnya, Levin terlihat tidak bersemangat hari ini.

"Kalau suka bilang, gengsi kok di gedein. Canda gengsi,"

Levin masih diam. Bukan karena tidak mendengar ocehan Bagas yang unfaedah. Hanya saja diam adalah pilihan yang tepat.

Pintu kelas terbuka, atensi keduanya beralih pada gadis berambut panjang.  Bagas tersenyum sumringah, sementara Levin memperhatikan gadis itu dengan tatapan yang sulit untuk di artikan.

'sejak kapan dia cantik?' tanya Levin pada dirinya sendiri.

Gadis itu berdiri tepat di samping Bagas, membuat hati Levin semakin panas. AC di ruangan seakan tidak berfungsi, atau mungkin hanya sebagai pajangan?

"Bagas." panggil gadis itu.

Bagas tersenyum manis, membuat Levin ingin muntah.

"Kenapa Bi?"

Yaps, Bi yang di maksud Bagas adalah Bianca. Ada rasa ingin mengatakan pada Levin bahwa Bianca lebih baik dari Ayra, tapi perasaan seseorang tidak bisa di paksakan.

"Lo bisa anterin gue pulang?" tanya Bianca penuh harap, sebenernya Bianca ingin meminta tolong Levin. Tapi mengingat perlakuannya kemarin membuat hatinya sedikit berpaling.

Sebelum menjawab, Bagas Melirik Levin terlebih dahulu. Bagi Bagas, tidak akan ada tikungan tajam dalam persahabatan mereka.

"Sorry, gue ada janji. Vin lo kayaknya enggak sibuk, anterin Bianca bisa?"

Janji yang di maksud Bagas adalah janjinya pada diri sendiri untuk membantu Levin dan Bianca menjadi lebih dekat. Usaha dulu, hasilnya lihat saja nanti.

Levin yang sejak tadi diam, kini hanya mengangguk. Dalam hati, Levin berterimakasih pada Bagas. Untuk hari ini saja Bagas sangat berguna tanpa di minta.

"Levin pasti juga sibuk, enggak apa apa kok gue sendiri aja. Duluan ya gas."

Bianca segera keluar dari kelas, entah sejak kapan Levin mengikutinya. Kini Levin sudah berjalan di sampingnya.

"Sejak kapan lo sama Bagas akur gitu?" ada nada tidak suka saat Levin menyadari jika Bianca dekat dengan Bagas.

Bianca binggung harus menjawab apa, memang apa yang salah saat Bianca tidak adu bacot dengan Bagas. Bukankah itu menjadi lebih baik?

"Enggak tau, tapi gue rasa enggak terlalu baik kalau setiap ketemu berantem terus,"

Levin membenarkan apa yang di katakan Bianca, semakin lama sikap gadis itu semakin terlihat dewasa. Ada rasa kagum dalam hatinya, tapi tetap saja rasa gengsinya lebih besar hanya sekedar untuk mengungkapkan perasaan.

Bang Jago Si Almet Merah ❤️ (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang