Prolog

42 4 0
                                    

Apalah arti sebuah rasa, jika akhirnya kita tidak bisa bersama. Untuk apa takdir harus bercanda dengan semua rentetan pertemuan kita, dan rasa nyaman yang tumbuh, jika pada akhirnya, Dia juga yang memisahkan kita hanya karena kita beda umat.

Aroma petrikor malam itu, mewakili alam yang bersedih, atas rasa pada dua insan yang hanya bisa saling tatap di balik jendela masjid dan pintu kuil. Kita punya makmum dan imam masing-masing, Tuan. Mungkin kita hanya memang ditakdirkan menjadi tamu yang hanya singgah.

“Harapku, kaulah yang akan datang bertamu dengan mahar mualafmu. Tapi ternyata, ada pria yang lebih dulu meminta menjadi imamku, pria yang serupa denganmu, tapi ‘tak sama.”—Arsyana Laila.

“Inginku perjuangkan rasa, tapi ia harus terkubur lebih dulu sebelum berjuang. Ada dia, yang bisa menjagamu lebih baik. Aku dengan Tuhanku, dan kamu dengan Tuhanmu.”—Anvi Bimasena.

“Akan ku lepas, jika memang bersatu denganku mengundang duka bagimu.”—Zayan Nizami.

Inilah kisah Arsyana, dengan dua pria kembar yang sangat berbeda. “Karena tidak semua yang singgah, akan menetap.”

**********

12/12/20

(Bukan) Imam HarapanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang